Setelah dalam 6 hari (masa) Tuhan mencipta, maka masuklah kepada hari yang ke 7. Pada hari yang ke tujuh ini Tuhan menginginkan agar manusia menjadikannya sebagai bahan ingatan, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini yang mencipta adalah Tuhan, yang mengatur juga Tuhan. Semua makhluk tunduk patuh pada aturan Tuhan. Maka tidaklah pantas jika ada manusia merasa dirinya dapat mengambil hak Tuhan untuk mengatur manusia lain menurut kepentingannya sendiri, karena itu adalah esensi perbudakan, dan perbudakkan amat dibenci Nya.
Musa menjadikan hari ke 7 sebagai hari suci bagi umat manusia, dan hari itu wajib disakralkan. Ia mengikuti ketaatan yang dilaksanakan oleh Abraham, karena jalan hidup yang dilaksanakan oleh setiap nabi mengikuti pola yang diajarkan oleh Abaraham. Ini dapat dilihat dengan banyaknya ayat-ayat yang menceritakan tentang betapa Abraham dijadikan sebagai standard kebenaran bagi pola hidup yang lurus, sebagai Bapak dari banyak bangsa, bapaknya manusia. Maka apa yang dijalankan oleh Musa adalah kebiasaan-kebiasaan Abraham, termasuk mensucikan hari ke 7. Begitupula Yesus yang mengikuti konsep hidup nabi sebelumnya yakni Musa, karena Musa mengikuti ajaran Abraham. Kedatangan Yesus bukan untuk mentiadakan hukum Musa (Taurat), tetapi ia datang untuk menggenapi hukum-hukum Taurat yang sudah diporakporandakan oleh manusia sepeninggal Musa (Mat 5:17). Jika konsep yang diperjuangkan Yesus menyimpang dari Musa dan Abraham, maka tidak mungkin ada perintah dalam Quran untuk mengikuti Ibrahim, Ismail, Ishaq, Musa, dan Isa (Yesus) = QS: 2/136.
Kemudian bagaimana dengan Muhammad? Apakah ia juga mengikuti peribadatan hari yang ke tujuh? Bagaimana dengan hari suci umatnya yang kini dilaksanakan dengan shalat Jumat? Tidaklah Muhammad dikatakan sebagai orang yang taat (muslim) jika ia menafikkan ajaran-ajaran yang diusung nabi-nabi sebelumnya. Dan berulangkali pula dituliskan dalam Quran bahwa Muhammad tidak meninggalkan Yesus, Musa, dan Abraham. Tetapi ia menjadi pelurus bagi ajaran-ajaran yang sudah tercampur oleh rekayasa manusia.
Jika diteliti secara bahasa, kata Jum’at bukanlah nama hari. Karena kata Jum’at berasal dari bahasa arab yakni: Jumu’ah, Jami’ yang artinya berkumpul-bersama-kolektif. Jadi shalat jum’at tidak ada hubungannya dengan hari Jum’at. Karena nama hari setelah hari kamis itu dalam bahasa arab adalah “Sitta”, yaitu hari yang ke 6. Sedangkan hari yang ke 7 dalam bahasa arabnya disebut Sabt/Sabat, maka shalat Jum’at tidak berarti dilaksanakan pada hari yang ke enam, karena shalat jum’at adalah shalat (beraktifitas) yang berkumpul. Dan itu dilaksanaklan pada hari Sabt, bukan hari yang ke 6. Maka Perintah untuk melaksanakan shalat Jum’at pada QS: 62/9 bukan dilaksanakan pada hari ke 6, tetapi hari Sabt atau hari ke tujuh.
Di dalam Quran QS: 2/65 tertulis kutukan bagi orang-orang yang tidak menghormati hari Sabt; mereka akan dijadikan sebagai Kera yang hina. Sebuah sifat dari binatang rakus dan tidak mengenal aturan yang akan menurun kepada manusia yang melanggar hari Sabt, siapapun dia, apapun keyakinannya. Karena jika diteliti lebih cermat, sebenarnya ayat ini tidak dialamatkan hanya kepada orang-orang Yahudi, tetapi kepada seluruh manusia yang mengimani Tuhan dengan Firman Nya yang terkandung dalam kitab-kitab suci.
Mengapa hari ini shalat jum’at dilaksanakan pada hari yg ke 6? Karena cerita itu bersumber dari riwayat-riwayat. Sedangkan riwayat adalah cerita yang disampaikan secara berantai dari sekian banyak orang, dituliskan sekitar 270 tahun setelah Muhammad meninggal. Mengapa demikian? Karena dikala Muhammad masih hidup, ia melarang penulisannya agar wahyu-wahyu yang diterimanya tidak tercampur dengan pendapat manusia. Apalagi ternyata pelantun-pelantun kisah terpercaya itu adalah orang-orang penjajah Persia yang dahulu dikalahkan oleh kekuatan Islam. Mereka ingin membuat muslim meninggalkan sebuah kitab yang besar, dan sibuk dengan kitab riwayat-riwayat yang dituliskan sekian ratus tahun setelah kepergian Muhammad.
http://azwarti.wordpress.com/2008/08/06/menguak-konspirasi-persia-dalam-merusak-islam-dan-memecah-belah-muslimin-part-1/
Persis seperti Constantine pada tahun 325M yang telah mengecoh pengikut-pengikut Yesus dengan merancang kitab-kitab yang diklaim oleh mereka sebagai kitab suci yang benar diantara beratus kitab lainnya. Padahal dalam prosesi pemilihannya amat banyak kejanggalan dan rekayasa bangsa romawi beserta rahib yahudi yang tidak menginginkan pengikut-pengikut Yesus tetap pada imannya. Karena mengimani apa yang diajarkan Yesus akan cenderung mengakomodir umat untuk mengadakan perlawanan terhadap penguasa (Luk 22:37). Bagi penguasa Romawi, membiarkan ajaran Yesus tetap beredar merupakan sebuah harga yang mahal. Karena di dalam ajarannya, Yesus memperjuangkan sebuah kerajaan Tuhan secara nyata (De facto) di bumi, bukan khayalan.
Setelah Constantine menyingkirkan ajaran Yesus dan menetapkan ajaran yang sejalan dengan kepentingan penguasa Romawi, maka ia menetapkan bahwa hari Sabat yang dahulu disakralkan digeser menjadi hari Minggu (SUN-DAY). Sebuah hari yang bertepatan dengan perayaan hari kelahiran anak dewa matahari yang selama ini dipuja-puja oleh bangsa Romawi. Sehingga Constantine dapat mengarahkan idiologi pengikut-pengikut Yesus menjadi tidak bertabrakan dan saling bersinergi dengan idiologi paganisme yang sudah berlaku bagi bangsanya. Ibarat kata: “Sekali dayung 2 pulau terlampaui”. Padahal di dalam Alkitab ada 144 ayat yang menceritakan tentang kemuliaan hari Sabat dan tidak satu pun yang mengarahan untuk menghormati hari Minggu.
Hari ini umat Muslim dan Nasrani saling berselisih mengenai hari yang disakralkan, padahal baik di Quran maupun Alkitab justru mengajarkan untuk menjadikan hari ke tujuh sebagai saat yang harus disucikan oleh seluruh umat manusia yang masih mengimani Abraham sebagai tauladan yang baik. Sebuah standard kebenaran yang tidak akan terjadi perselisihan ketika mengimaninya.
Tuhan tidak menginginkan manusia terpecah menjadi Islam, Kristen, maupun Yahudi. Tapi itu adalah buah dari peradaban yang muncul seiring dengan bergulirnya dinamika kehidupan umat manusia. Maka mengapa harus saling bermusuhan? Bukankah pada jaman Yoshua, bani Israil (keturunan Ishak) merangkul bani kedar dan Nebayot yang dari keturunan Ismail? Bukankah Yesus juga melakukannya demikian? Dan bukankah Muhammad justru mengajak para ahli kitab untuk mengusung kalimat yang satu dan tidak saling berselisih? [QS 3:64]
Bukankah Muhammad mengasihi kaum Yahudi? Bahkan salah satu istrinya adalah keturunan Yahudi yang bernama Mariah. Maka Muhammad bukan mengedepankan suku/golongan.
Mengapa tidak dimulai dengan mencari persamaan antara apa yang diyakini oleh kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi? Mengapa tidak mulai dari mengupas dengan teliti apa-apa yang diajarkan oleh Abraham sebagai Bapak yang diakui oleh kaum Muslim, Yahudi, dan Nasrani?
Jika anda yang membaca tulisan ini menanggapi dengan kesombongan agama yang dipeluk, maka yakinlah bahwa sampai kapanpun anda akan terperangkap oleh pembelaan ritus dan simbol yang tidak berguna dalam memintal tali persaudaraan diantara manusia. Anda akan sibuk dalam membela tradisi yang turun temurun. Padahal Tuhan berkali-kali memerintahkan manusia untuk bersatu dalam ketaatan kepada Nya, bukan taat kepada agamanya.
Salam Abraham!
(www.millahabraham.co.cc)
Salam Abraham!
BalasHapusmari ngobrol seputar science, quran dan hanification