Kilas Balik Revolusi Islam Iran
Awal abad XX, Perusahaan Minyak Inggris-Iran (Anglo-Iranian Oil Company yang belakangan menjadi British Petroleum) menemukan ladang minyak di barat daya Iran, di wilayah Khuzistan.Mengiringi abad yang menjadi saksi dua Perang Dunia yang menelan korban jiwa lebih yang lebih besar dari kematian manusia selama 5 ribu tahun, Ruhullah Musawi Khomeini lahir di bagian tengah Iran, di padang tandus bernama Khomein. Entah mengapa, Ruhullah lahir tepat pada tanggal kelahiran Fathimah, putri semata wayang Rasulullah saw yang sekaligus menjadi nenek Ruhullah.
Tuhan memang punya banyak cara untuk mengadon dua peristiwa yang semula tampak tidak bertautan ini menjadi drama manusia yang sangat menakjubkan.
Di awal abad XX itu, Inggris yang belajar banyak dari Lawrence of Arabia mulai membuat rencana baru demi memperkuat cengkeramannya di wilayah Khuzistan. Inggris memantik berbagai pemberontakan etnis Arab terhadap Kerajaan Qajar. Tujuannnya ialah menggerus daya tawar Qajar dalam negosiasi bagi hasil minyak. Pada 1906, Qajar mengesahkan Konstitusi dan Parlemen (Majlis). Taring Kerajaan Qajar pelan-pelan tumpul.
Sekalipun banyak kekuatan asing yang mengincar Khuzistan, pasukan Kerajaan Inggris berjaya mempertahankan semua ladangnya pada Perang Dunia I (1914-1918). Lagi-lagi dengan taktik Lawrence of Arabia, Inggris berhasil menendang pasukan Rusia yang mencoba menyusup dari arah Timur. Inilah penyusupan Rusia yang pertama ke bekas pusat kekuasaan Imperium Persia.
Antara 1903-1918, Khomeini kecil mengalami masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Pada usia lima bulan, dia harus kehilangan ayahnya yang mati terbunuh oleh sekawanan bandit yang mencoba membuat huru hara di kota. Lalu pada tahun 1918, bibi yang mengasuhnya, berpulang ke rahmat Allah. Tak lama kemudian ibunya juga meninggal dunia. Di usia 16 tahun, Ruhullah telah menjadi yatim piatu. Tak ada lagi perempuan yang mengasuhnya. Kini dia berada dalam asuhan kakak tertuanya, Murtadha (yang kelak dikenal dengan julukan Pasandida, yang bermakna “penuh belas kasihan”).
Pasandida mengenang Khomeini kecil sebagai anak yang memiliki keseriusan tak wajar—bahkan saat bermain dengan teman-teman sebayanya. Boleh jadi, kesusahan hidup tanpa ayah, diikuti kematian bibi dan ibunya secara hampir bersamaan, telah membangun watak heroik di dalam jiwanya. Ditambah dengan disiplin tinggi dan tekad baja yang segera terlihat dari raut wajahnya.
Khomeini telah dihadapkan untuk pertama kalinya dengan sifat tirani di usia yang masih sangat muda. Berbicara di hadapan anggota korps diplomatik Iran pada 5 Januari 1985, dia mengisahkan ingatan masa kecilnya:
Sudah biasa terjadi pada waktu itu, jika seorang gubernur baru dipilih, dia akan berlagak di depan masyarakat sebagai penguasa. Dia tidak akan memperhatikan dan melayani masyarakat sama sekali. Sekali waktu saya menyaksikan kedatangan seorang gubernur baru untuk Provinsi Gulpayagan. Para pedagang berbondong menemuinya. Di hadapan kaum pedagang ini, dia memerintahkan agar pemimpin setempat diikat dan dipukuli. Saya berulah seorang anak kecil waktu itu, tapi bahkan hingga sekarang saya dapat mengingat bagaimana seorang saleh yang dihormati oleh masyarakat itu dipukuli dan dianiaya atas perintah orang bejat (gubernur) itu, tanpa alasan sama sekali. Rupa-rupanya dia ingin berkata, “Aku dapat melakukan apa pun yang kuinginkan dan kalian harus mematuhinya.”
Di sisi lain, Inggris terus berupaya memperkuat genggamannya atas wilayah barat daya Iran. Berduet bersama Reza Khan yang saat itu masih menjadi perwira kavaleri pasukan Kerajaan Qajar, Inggris berhasil meluruhkan jaring-jaring kekuasaan Kerajaan dari dalam. Pada 1925, Reza Khan resmi (atau lebih tepatnya diresmikan) sebagai Syah (Raja). Tak lama berselang, Reza mengganti marga Khannya yang berbau Qajar (Islam) dengan Pahlavi yang merujuk pada Era Persia sebelum Islam. Di bawah kekuasaan Reza Syah Pahlavi, Iran membuka diri terhadap segala rupa investasi dan juga eksploitasi, terutama yang datang dari Inggris. Reza Pahlavi adalah sapi perah Inggris paling seksi di Timur.
Perang Dunia II meletus antara dua elemen kekuatan yang sama-sama berselingkuh dengan Reza Pahlavi: Inggris dan Jerman. Reza Pahlavi kebingungan menentukan pilihan. Para ahli strategi menyarankannya bersikap netral. Inggris marah. Dibantu Rusia, Pasukan Inggris menginvasi Iran pada 1941 dan mencopot paksa mahkota Reza Pahlavi. Tanpa buang-buang waktu, Inggris mencomot anaknya, Muhammad Reza Pahlavi, untuk melanjutkan kekuasaan sang bapak. Muhammad Reza Pahlavi menunjukkan ketaatan yang lebih tulus.
Saat Muhammad Reza Syah berbangga karena Iran dijuluki sebagai The Bridge of Victory oleh Pasukan Sekutu, Khomeini mempublikasikan hasil-hasil kuliahnya tentang pelbagai isu polemis berjudul Kasyf al-Asrar (Kunci Pembuka Rahasia). Dalam buku ini, dia membidas Barat, terutama Inggris dan AS, dalam penderitaan Iran secara khusus dan dunia Muslim secara umum. Dia juga menceritakan kelahiran Israel dan bahaya jangka panjangnya bagi keamanan Timur Tengah.
Awal 1950, sejumlah intelektual nasionalis menuntut hengkangnya pasukan asing dari tanah Iran. Di hadapan Parlemen (yang sejak Era Qajar diberi nama Majlis), Dr. Mohammad Mossadeq, pemimpin gerakan itu, mengajukan mosi tidak percaya terhadap kekuasaan Muhammad Reza Pahlavi. Tahun 1951, politisi gaek yang mirip Mohamad Hatta ini naik daun dan terpilih sebagai Perdana Menteri. Tanpa tedeng aling-aling, Mossadeq menasionalisasi Perusaan Minyak Inggris yang menguasai seluruh sumur minyak Iran. Sebagai balasan, Inggris mengembargo minyak Iran dan berkomplot menggulingkan Mossadeq.
Badan Intelijen Inggris menggamit Amerika Serikat, dan meyakinkan Presiden Eisenhower bahwa Mossadeq beraliansi dengan Partai Komunis Tudeh di Iran. Eisenhower menyetujui operasi intelijen di bawah CIA untuk menggulingkan Mossadeq dan memulihkan kekuasaan Muhammad Reza Syah Pahlavi yang pro-Barat. Sekalipun menghadapi banyak rintangan, Kermit Roosevelt, Jr. akhirnya sanggup menyelesaikan operas bersandi Operation Ajax dari Kedutaan Besar AS di Tehran dan menggencet Mossadeq untuk selamanya.
Operasi intelijen ini bertumpu pada mobilisasi sebanyak mungkin demonstran anti-Mossadeq. Ibukota Tehran rusuh. Penjarahan terjadi di mana-mana. Ribuan pemuda pro dan anti-Mossadeq mati di jalanan. AS dan Inggris menyogok militer untuk berpihak pada Syah. Pasukan pro-Syah menyerbu dan membombardir kediaman Sang Perdana Menteri. Mossadeq menyerah pada 19 Agustus 1953.
Mohammad Reza Pahlavi kembali berkuasa dengan jiwa yang lebih otokratis. Dengan dukungan penuh AS dan Inggris, Syah Muhammad Reza Pahlavi semakin membabi buta dalam melaksanakan sekularisasi. Program sekularisasi bangsanya lantas, seperti yang biasa terjadi di hampir semua negara ketiga, diikuti dengan personalisasi negara. Di bawah bendera Sazman-I Ittila’at va Amniyat-i Kesyvar (Badan Intelijen dan Keamanan Negara, yang belakangan lebih tenar dengan nama singkatannya, SAVAK), Syah mengikis habis semua suara sumbang tentang dirinya. Di setiap sudut Iran, ada telinga dan mata SAVAK yang siap memperhatikan, melaporkan dan menindak si tertuduh tanpa pengadilan dalam bentuk apa-pun.
Di tahun-tahun ini, Khomeini sudah menjadi mullah terpandang di Qom. Seluruh tahap belajarnya telah terlampaui. Banyak karya telah dibuatnya. Lebih banyak lagi tahap perjuangan batin (jihad an-nafs) yang telah dilakukannya. Sepertinya dia sudah menaklukkan “setan-setan besar dalam dirinya”. Dalam salah satu kuliahnya antara 1937-1939 di Madrasah Faiziah dan Madrasah Hajj Mullah Shadiq, Khomeini menyatakan:
“Jika segala yang berkaitan dengan jiwanya terlebih dahulu dikaitkan dengan kemanusiaan, maka dia bisa menundukkan ‘setan’ dirinya dan menjadikannya beriman, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw.: ‘Sesungguhnya setan dalam diriku menjadi tak berdaya di tanganku.’ Jiwa sisi hewani yang jahat itu lalu menyerah kepada sisi jiwanya yang manusiawi, sedemikian rupa sehingga seakan-akan ia menjadi seekor hewan tunggangan yang jinak dan terlatih, bergerak menuju alam kesempurnaan. Bahkan, ia bisa menjadi bagaikan burâq yang membawa penunggangnya dengan cepat menjelajahi cakrawala menuju akhirat, dan tidak akan pernah kembali liar lagi. Setelah kekuatan syahwat dan amarah itu ditundukkan oleh kekuatan keadilan dan hukum agama, maka keadilan akan menyebar ke setiap sudut jiwanya. Mulai saat itu pula di dalam jiwanya akan terbentuk suatu pemerintahan yang adil, berdasarkan kebenaran dan norma-norma kebenaran. Tidak ada satu pun dari langkah-langkahnya yang akan berlawanan dengan dan nilai-nilai kebenaran, sehingga terbebaslah ia dari semua jenis kebohongan dan kezaliman.”
Bagi Khomeini, jihad an-nafs atau perjuangan batin melawan setan-setan di dalam diri itu adalah the ultimate fight. Inilah jihad akbar yang menuntut keberanian paling besar, tekad paling bulat, kekuatan paling dahsyat dan kesabaran tanpa batas. Lepas dari arena ini, semua musuh lain menjadi tidak ada artinya. Demikianlah Khomeini mengajarkan di kuliah pertama 1937-1939 yang dihadiri begitu banyak murid itu. Kuliah-kuliah ini kelak dituliskannya dalam sebuah buku berjudul Chehel Hadits (Telaah atas 40 Hadis Akhlak dan Mistik).
Di sela-sela pelajaran ilmu hikmah dan makrifatnya yang menarik begitu banyak peminat, Khomeini melontarkan kritik-kritik pedas atas berbagai kebijakan Syah yang dinilainya tidak nasionalis, elitis dan pro korporasi Barat. Pada periode ini, Khomeini merampungkan tahap akhir pandangan-dunia Syiah yang berpijak pada tauhid, keadilan Ilahi dan perlawanan terhadap kezaliman model Asyura. Khomeini meyakini peran penting majlis-majlis Asyura dan Arbain bagi landasan Revolusi Islam Iran dan pembentukan masyarakat Islam setelahnya.
Pada tahun 1955, semua murid Khomeini yang kelak menggerakkan dan mengorganisir Revolusi Islam telah berkumpul di sekelilingnya. Mereka antara lain adalah: Murtadha Muthahhari, Muhammad Husein Bahesyti, Muhammad Jawad Bahonar, Ali Khamenei, Hasyemi Rafsanjani, Jawadi Amuli, Husein Mazhahiri, Taqi Mishbah Yazdi, Ali Tehrani, Sadiq Khalkhali, Musawi Ardabili dan lain sebagainya. Selain lingkarang murid ini, pada tahun 1958, Khomeini sudah punya jaringan perwakilan hampir di seluruh Iran.
Sejak kembali berkuasa setelah era Mossadeq, Muhammad Reza Syah tak henti-hentinya menunjukkan kepasrahan terhadap keinginan Amerika Serikat. Kapitulasionisme membabi buta ini menyebabkan Khomeini sering menghantam kebijakan-kebijakan Syah yang tunduk patuh pada AS dan Israel. Bagi Khomeini, rezim yang berkuasa telah melangkah terlalu jauh dari pakem yang selama ini berkalu bagi raja-raja Iran. Khomeini dan murid-muridnya tak bisa lagi membiarkan sikap keterlaluan ini.
Orang-orang yang datang ke rumah reot di Gozar Qazee, Qom, pada musim dingin 1962 menyatakan bahwa Khomeini tidak bisa menemui tetamunya. Penghuni rumah hanya menyampaikan salam dan permohonan maaf. Tapi semua tahu bahwa Khomeini sedang menjalani khalwat—40 hari pemisahan diri dari dunia luar. Ini adalah tradisi terkenal di dalam mistisisme Persia untuk mempersiapkan diri menghadapi peristiwa besar. Nader Naderpour, penyair Persia terkenal kala itu, menyempatkan diri bertemu Khomeini setelah cheleh yang pertama. Dia terkejut melihat determinasi Khomeini yang lebih besar untuk melawan segala bentuk kezaliman, melawan semua mustakbir dan membela semua mustadh’af di muka bumi.
Khomeini melakukan beberapa khalwat lain—sesuatu yang tidak lazim dalam tradisi ini. Orang-orang di sekitarnya meyakini bahwa Khomeini telah mengalami transformasi spiritual dalam proses panjang jihad besarnya melawan diri sendiri. Jawadi Amuli, salah seorang murid Khomeini pada masa itu, menggolongkan Khomeini sebagai mistikus sempurna yang telah melewati empat tahap perjalanan spiritual manusia. Inilah kesempurnaan spiritual yang diidam-idamkan oleh para mistikus besar seperti Mulla Shadra.
Persis di Tahun Baru Nowrouz 1963, Khomeini mengeluarkan pesan agar seluruh Muslim Iran tidak merayakan tahun baru tradisional itu lantaran Islam dalam bahaya. Dalam pesan tertulisnya, dia menyatakan: “Apa yang sedang terjadi adalah konspirasi orang yang sedang sekarat, tapi bagaimanapun konspirasi ini dapat menimbulkan ancaman serius terhadap Islam, umat Muslim dan kemerdekaan Iran… Dalam rangka mengingatkan umat Muslim akan bahaya tersembunyi yang mengancam al-Qur’an dan negeri al-Qur’an ini, saya nyatakan bahwa Tahun Baru kali ini tidak boleh dijadikan ajang sukacita tapi ajang untuk berdukacita. Ya Allah, aku telah menjalankan tugas utamaku dan kalau Engkau panjangkan umurku niscaya aku akan memikul tugas-tugas hidupku selanjutnya.”
Ratusan pelajar agama (thalabeh) tumpah ke jalanan Qom. Madrasah Faiziyeh menjadi saksi hidup dari benih-benih Revolusi Islam Iran yang bersemi. SAVAK menyarankan agar Syah merekayasa demonstrasi tandingan di Qom. Sekitar 2000 pegawai Perusahaan Air Negara yang dibayar 2 pounsterling per orang berangkat ke Qom, lengkap dengan aksesori pelajar agama. Mengenakan kain putih panjang, sorban dan sebagainya, rombongan demonstran bayaran ini memasuki Qom dan meneriakkan yel-yel anti-mullah.
Adu kuat kedua kelompok tidak terhindarkan lagi. Kelompok pro-Syah yang mempersenjatai diri dengan pentung, pisau, dan sebagainya memulai serangan. Para thalabeh membalas, dan keadaan tidak terkendali. Ayatullah Muhammad Kazem Syariatmadari mencoba mendinginkan suasana, tapi gagal. Saat adu otot itu sedang berlanjut, tiba-tiba terdengar tembakan. Dua thalabeh terjatuh, dan sejumlah lainnya luka-luka.
Hari berikutnya, Khomeini menyatakan perang terhadap rezim Syah. Muhammad Jawad Bahonar menuliskan pernyataan perang Khomeini yang kemudian disebar ke seantero Qom: “Dengan menciptakan kekacauan ini, rezim tirani (Syah) telah menetapkan ajalnya sendiri. Ia akan segera tumbang dan kita akan menang. Kita selalu memohon kepada Allah agar rezim ini membuka kedoknya dan menghinakan dirinya sendiri. Doa kita telah Allah kabulkan.”
Selain mengecam kebijakan-kebijakan yang anti-Islam, Khomeini juga menyebutkan langkah-langkah Syah yang memihak pada asing dan merugikan penduduk Iran. Tema-tema perlawanan anti-Syah dan neokolonialisme kini diusung beriringan dengan tema-tema populer Asyura.
Muharam tahun 1963 itu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di Tehran, ratusan orang berdemo sejak hari pertama Muharam, yang bertepatan dengan 24 Mei 1963. Memasuki hari kesepuluh atau yang lebih dikenal dengan Asyura, bertepatan dengan 2 Juni, puluhan ribu penduduk Iran memadati kota Qom. Khomeini mengajak rakyat melakukan “tindakan keras menetang pemerintahan tirani Syah.”
Pada hari Asyura (3 Juni 1963), Mayor Jenderal Nasser Moqaddam, perwira tinggi SAVAK, menyantroni Khomeini dengan membawa pesan dari “Paduka Raja”. Pesannya: “Jangan banyak bertingkah atau kita akan patahkan tulang-belulang Anda.” Tanpa perubahan rona wajah, Khomeini menjawab: “Jangan terburu nafsu. Kami juga punya kekuatan untuk melawan; Raja harus tahu mengenai hal ini.”
Pertemuan yang difasilitasi oleh Syariatmadari itu hanya berlangsung kurang dari setengah jam. Khomeini pulang untuk beristirahat di rumahnya. Saat sedang berbaring di kamarnya, ratusan thalabeh berbusana kafan mendadak berkerumun di jalan-jalan depan rumah Khomeini. Satu sama lain saling mengucapkan selamat tinggil, yakin bahwa besok mereka semua sudah akan berkalang tanah.
Mereka meminta Khomeini keluar dan mengabarkan hasil pertemuan dengan Mayjen Nasser Moqaddam. Para thalabeh mendengar desas-desus bahwa SAVAK akan membunuh Khomeini. Dia sendiri sama sekali tidak peduli dengan nyawanya. Pada 14 Februari 1979, dalam pesannya di radio Iran, Khomeini menyebutkan bahwa dia tidak akan meninggal sampai setelah memasuki abad 15 Hijriah, yakni setelah tahun 1981 Masehi.
Satu jam kemudian, Khomeini muncul diapit oleh Musthafa, putra sulungnya, dan Murtadha Muthahhari. Tanpa mengangkat kepala, Khomeini menyusuri titian kecil yang terbuka di tengah-tengah kerumunan manusia yang berjubel. Sesampainya di Madrasah Faiziah, Sang Ayatullah tidak naik podium, tapi duduk menghadap makam suci Fathimah Ma’shumah. Dalam posisi duduk, dia menyampaikan orasinya hari itu.
Khomeini menyebutkan adanya konspirasi besar untuk mengubur semangat Islam, persis sebagaimana yang dihadapi Imam Husein di hari Asyura. Syah telah bekerjasama dengan kekuatan AS dan Israel untuk memberangus semua jejak Islam. Dia mengancam Syah agar tidak bermain-main dengan kemuliaan Islam. Sudah begitu banyak raja dan penguasa yang jatuh secara memalukan akibat mencoba untuk menghina Islam. Dia membongkar pesan SAVAK yang umum diketahui telah dilatih oleh agen-agen MOSSAD dan CIA supaya para mullah tidak bebicara tentang tiga hal: Syah, Israel dan bahaya terhadap Islam.
“Mengapa SAVAK meminta kita untuk tidak berbicara tentang Syah dan Israel?”, tanyanya ditingkahi teriakan-teriakan takbir para audiens. “Apakah maksud SAVAK bahwa Syah adalah orang Israel? Atau SAVAK menganggap Syah sebagai orang Yahudi? Kau tidak tahu bahwa begitu negeri ini bergolak dan halaman baru dibuka, kau tidak akan punya teman. Semua orang yang kini mendukungmu (AS dan Israel) bukanlah temanmu. Mereka adalah teman-teman dolar. Semua orang ini tidak punya keyakinan, tidak punya kesetiaan. Dalam waktu dekat, mereka akan menyalahkanmu akibat kejahatan-kejahatan mereka. Ingatlah kata-kata ini.”
Inilah babak baru perlawanan Khomeini yang dikenal dengan Gerakan 15 Khordad. Ceramah panjang Khomeini yang berisi bahan-bahan baru seputar konspirasi internasional yang belum pernah didengar khalayak sebelumnya ini telah mengalirkan kejutan listri ke segenap urat hadirin. Ribuan salinan rekaman ceramah ini disebar ke semua penjuru Iran pada malam itu juga.
Keesokan harinya, Syah meminta kepala SAVAK, Mayjen Hasan Pakravan, untuk mengambil tindakan tegas dan keras. Satu detasemen pasukan pengendali keamanan dikirim ke Qom. Satu demi satu rumah penduduk di sekitar tempat kediaman Khomeini diperiksa dan digeledah. Sebagian lain, dalam formasi menyerang, mengepung rumah Khomeini. Keributan terjadi akibat teriakan laki-laki dan tangisan perempuan yang datang dari seluruh sudut Qom. Di depan puluhan tentara yang mengurung rumahnya bagai buah delima itu, Khomeini berteriak keras: “Jangan usik keamanan penduduk. Sayalah Ruhullah Khomeini.”
Khomeini digiring oleh dua polisi bertubuh tinggi besar memasuki mobil Volkswagen yang telah diparkir di depan rumahnya. Di ujung jalan, mobil Volkswagen tiba-tiba berhenti mendengar sentakan keras Musthafa. Imam Khomeini menenangkan Musthafa dan memintanya mengurus semua korban luka di Madrasah Faiziah. Dalam perjalanan menuju Tehran, Khomeini tertidur lelap, seolah di rumahnya sendiri. Semua pengawal militer yang berada di dekatnya tak habis pikir. Saat tiba di Tehran, salah seorang dari mereka memohon maaf pada Khomeini. “Saya tidak punya urusan dengan Anda, tapi dengan tuan Anda,” tukasnya.
SAVAK menjebloskan Khomeini di penjara Qasr selama 19 hari. Tapi dia bukan sendirian. Ayatullah Hasan Thabathaba`i Qomi dan Muhammad Taqi Falsafi, orator ulung asal Tehran, juga digiring ke rumah tahanan. Dengan menahan Khomeini, rezim Syah sebenarnya meresmikannya sebagai pemimpin oposisi dari kalangan agamawan.
Di Qom, demonstrasi terus menerus terjadi, hingga Syah memutuskan untuk mengurungnya dengan hukum darurat sipil. Tapi demonstrasi jauh lebih besar terjadi di Tehran. Ayatullah Fazlullah Mahalati memimpin di depan. Puluhan ribu orang, termasuk ribuan perempuan bertudung kain hitam panjang yang berpadu dengan kafan putih, bergerak dari selatan Tehran menuju ke pusat ibukota.
Syah terpaksa melepaskan Khomeini pada 6 April 1964. Begitu banyak orang bersorak sorai menyambut kepulangan Khomeini. Tapi Ruhullah mengingatkan, “Warna kita harus tetap hitam sampai kita dapat mengganti darah syuhada yang gugur.” Di hadapan ribuan orang yang berlkumpul di masjid agung Qom, Khomeini kembali mengungkapkan bahwa semua kerusakan di Iran adalah akibat ulah Amerika Serikat dan Isreal.
Ali Davani mencatat dalam jilid keenam buku Nehzat-e Ruhoniyyat dar Iran bahwa tahun 1964 Amerika Serikat telah mengirimkan utusan untuk menemui Khomeini untuk menyampaikan suatu pesan penting: “Serang Syah semau Anda, tapi jangan coba-coba menyerang AS. Syah tidaklah penting bagi AS, yang penting adalah hubungan baik dengan Iran. Jika Anda tetap menyerang AS, maka akan ada konsekuensi-konsekuensi besar dari sana.” Ayatullah tidak mau menemui utusan itu. Musthafa yang mendengar pesan itu pun langsung menyatakan penolakan dan meminta AS tidak menghubungi Imam Khomeini lagi.
Pada 2 November tahun yang sama, setelah pertemuan tertutup dengan utusan AS, Imam Khomeini kembali mengumpulkan ribuan orang di Qom. Kali ini dia ditemani oleh Ayatullah Mar’asyi Najafi—orang yang terkenal begitu lembut dan moderat. Di depan ribuan yang membanjiri salah satu masjid di Qom itu, Khomeini menyerang AS dan Israel secara habis-habisan. Dia mulai menggunakan AS dan Israel sebagai target perlawanannya, dan hanya sekali-kali menyebut nama Syah.
Dua hari kemudian, 4 November 1964, Syah mengangkut Khomeini keluar dari Qom. Manakala di dalam mobil, dia menyampaikan pesan lewat Jenderal Nekmatollah Nasiri, Kepala SAVAK saat itu, agar Syah tidak mengganggu para mullah setelah hari ini. Dia mengatakan bahwa “saya siap menanggung semua akibat perbuatan saya sendiri. Jangan ada orang, apalagi dari kalangan mullah, yang harus menderita akibat perbuatan saya.” Khomeini akhirnya diterbangkan pesawat militer Turki ke Ankara.
Syah melancarkan serangan balik yang sama sekali tanpa perhitungan. Dia menyebut ulama sebagai agen kemunduran dan penipu. Ulama yang semula tidak berpihak mulai menunjukkan perlawanan. Syah memerintahkan SAVAK untuk menahan puluhan mullah yang kritis. Sejumlah ulama Iran, tidak hanya di Qom, mengeluarkan pernyataan bersama menentang penahanan sewenang-wenang itu yang terjadi hampir setiap hari. Ibukota mulai sering dipadati demonstrasi besar-besaran menentang Syah yang semakin mengambil jarak dengan ulama dan Islam dan mendekat ke AS dan Israel.
Seolah-olah yakin dengan masa depan cerah perjuangan politiknya, di Najaf Khomeini memberikan serangkaian kuliah seputar masalah-masalah yang lebih strategis seperti pemerintahan Islam, wilayah al-faqih dan jihad akbar. Serangkain pertemuannya dengan ulama brilian Irak, Ayatullah Muhammad Baqir ash-Shadr memperluas jaringan perjuangan Imam Khomeini.
Dalam semua pesan mingguannya untuk rakyat Iran, Imam Khomeini menegaskan—dalam bentuk melampaui semua penegasan—bahwa tauhid dan keimanan kepada Penguasa Mutlak adalah satu-satunya jalan kemenangan dan pembebasan. Tema serupa—secara lebih akademis—diusung oleh Murtadha Muthahhari, komandan lapangan Revolusi, dan Muhammad Husein Bahesyti, administrator Revolusi. Di samping kedua orang ini, rakyat Iran juga menerima pencerahan dan penyadaran pada tingkat paling radikal dari Dr. Ali Syariati—oratur ulung yang punya jaringan pendukung luas di kalangan kampus.
Tiga belas tahun kemudian, tepatnya 6 November 1977, semua orang dikejutkan oleh kabar duka kematian Musthafa, putra sulung Imam Khomeini. Kematian yang sungguh misterius. Suatu ketika, Imam Khomeini menyebut Musthafa sebagai “cahaya mataku”. Dia memang dikenal sangat dekat dengan ayahnya, terutama sejak mereka sama-sama tinggal di pengasingan di Najaf, Irak. Tapi, saat kabar tragis ini disampaikan kepadanya, airmukanya tidak berubah. Tetap tenang dan tunak. Seperti sudah lama mendengarnya, Khomeini menanggapi berita itu dengan cara terbalik: “Kematian Musthafa adalah salah satu rahasia kebaikan Allah.”
“Rahasia kebaikan” yang dimaksudkan Ruhullah memang segera tampak saat berita kematian Musthafa menyebar di Iran. Peristiwa ini terbukti menjadi salah satu faktor yang mempercepat kematangan Revolusi Islam Iran dan pembusuhan rezim Syah. Kebanyakan rakyat menduga kuat bahwa SAVAK berada di balik pembunuhan itu.
Pada peringatan hari ketujuh wafatnya Musthafa, Imam Khomeini menjelaskan: “Dunia ini hanyalah perlintasan; ia bukanlah tempat yang seharusnya kita tinggali. (Dunia) ini hanyalah jalan, inilah Titian Sempit… Apa yang disebut Kehidupan di dunia ini bukanlah Kehidupan melainkan Kematian… Kehidupan sejati hanyalah yang tersedia di Akhirat… Kita berada di sini, dalam Kehidupan rendah dan hina ini sekadar untuk melaksanakan tugas-tugas yang Allah tentukan bagi kita. Boleh jadi, karena kebodohan, kita menganggap segenap tugas itu sebagai sukar; namun sebenarnya semua tugas ini adalah bukti paling nyata dari kemurahan Allah (kepada kita)…Tak seorang pun menjadi manusia hakiki tanpa melintasi Titian Sempit ini.”
Tak lama kemudian, pada sore hari di penghujung bulan Desember 1977, Murtadha Muthahhari menerima surat dari Imam Khomeini yang membuatnya senang bercambur gelisah. Surat yang ditulis oleh Ahmad Khomeini, putra bungsu Ruhullah Khomeini, di atas kertas robekan dari buku sekolah salah seorang anaknya itu berisi pesan yang mendebarkan. Dari pengasingannya di Najaf, Imam Khomeini menyerukan semua rakyat untuk terus berjihad. Dia menyatakan bahwa “pemakzulan Syah”, “pembubaran Parlemen”, “pembatalan seluruh hukum perdata” dan “pemboikotan total terhadap Pemerintahan Setan” harus cepat dilaksanakan. Imam Khomeini mengakhiri suratnya dengan pernyataan yang digarisbawahi berikut ini: “Segenap penderitaan umat pasti akan segera berakhir.”
Meski bingung dengan pesan dramatis ini, Muthahhari percaya penuh pada gurunya. Dia telah mengenal Ruhullah cukup lama untuk bisa memastikan bahwa Ruhullah bukan orang yang ceroboh. Pada masa-masa ketika masih menjadi muridnya di Qom, Muthahhari mengenal Ruhullah sebagai guru yang konsisten, realistis, praktis, penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Tapi kebingungan itu tak bisa ditepiskan begitu saja. Muthahhari memutuskan mengundang beberapa murid Ruhullah lain untuk menanggapi pesan tersebut.
Malam mulai merayap manakala para tamu berkumpul di rumah Muthahhari. Muhammad Husein Bahesyti, Mohieddin Anwari, Ali Golzadeh Ghafuri, Ahmad Mowlawi, Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani dan Muhammad Jawad Bahonar. Enam orang ini bertemu untuk membincangkan kandungan pesan Imam Khomeini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Pertemuan yang berlanjut hingga tengah malam itu berhasil menelurkan modus vivendi untuk melaksanakan pesan ini.
Setelah beberapa pertemuan lanjutan, tujuh mullah politisi ini lantas menghasilkan rencana aksi protes dan demonstrasi di seantero Iran. Ruhullah menyetujui dan mendukung rencana itu. Di Najaf, menurut penuturan Haji Ibrahim Dardasyti, “Imam Khomeini mulai lebih sering mengunci diri di dalam kamar. Beliau begitu karam dalam berbagai ibadah dan munajat panjang yang penuh tangisan.” Inilah moment of realization bagi Imam bahwa janji Ilahi sudah semakin dekat.
Mula-mula, Muthahhari memperkirakan bahwa rezim Syah masih akan bertahan sampai beberapa tahun lagi. Tapi perkembangan dramatis yang senantiasa selaras dengan pengarahan Imam Khomeini semakin memperteguh keyakinan Muthahhari dan keenam sejawatnya akan kebenaran jalan yang mereka ambil di belakang Sang Guru. Muthahhari yang dikenal paling moderat di antara semua murid Ruhullah belakangan semakin tersedot dalam radikalisasi Ruhullah.
Fakta ini memang tidak bisa dipahami oleh orang yang munggunakan mata sains: perkembangan sosial dan politik Iran begitu selaras dengan perkembangan detak jantung dan tekanan darah Ruhullah nun jauh di samping pusara kakeknya, Ali bin Abi Thalib, di Najaf. Saat Imam menaikkan nada bicaranya, rakyat Iran merespons dengan luapan emosi yang setimpal. Ada kesatuan organik yang tak bisa dipungkiri antara rakyat dan pemimpin dalam revolusi paling populis di abad 20 ini.
Pada 11 Januari 1978, sekelompok pelajar agama mengadakan unjuk rasa di Qom. Mereka mengutuk pemuatan cerita yang menghina Imam Khomeini di media massa pro-Syah. Unjuk rasa itu kontan menyulut bentrokan dengan aparat keamanan. Beberapa pelajar agama mati tertembak. Pihak revolusioner menyatakan korban mencapai angka 70 orang.
Memperingati 40 hari tragedi di Qom, 18 Februari 1978, rakyat Iran di berbagai daerah turun ke jalan. Bentrokan dengan pasukan keamanan tak bisa dielakkan. Keadaan semakin tidak berpihak pada Syah. Semua langkah yang diambilnya justru berbalik memukulnya. Terlihat bahwa Raja yang bergelar Syahensyah (Raja Diraja) ini mulai terserang neurastenia. Kanker ganas menggerogoti jaringan sel dan organ Syah, membuatnya kian terpuruk dalam kegelapan tanpa ujung.
Sejumlah pelajar agama di Qom melancarkan aksi demo pada medio Mei tahun yang sama. Begitu keadaan tidak terkendali, mereka melarikan diri ke rumah Ayatullah Kazem Syariatmadari. Ulama besar yang dekat dengan keluarga kerajaaan ini terkesiap melihat seorang pelajar yang bersembunyi di rumahnya ditembak mati di hadapannya. Ini adalah pelanggaran tradisi yang nyata. Sang Ayatullah naik pitam, menyerukan perlawanan terhadap Syah. Tangan Tuhan memang berpihak pada Ruhullah, sekalipun pada mulanya semua tak berada di sisinya.
Antara bulan Juni dan Agustus tahun 1978 itu e’lamiyeh (pesan) Ruhullah muncul dalam frekuensi lebih tinggi. Parvis Sabeti, kepala ‘satuan tugas anti-subversi’ SAVAK, memperkirakan jumlah pesan berupa pamflet maupun rekaman suara Ruhullah yang menyebar di tengah rakyat mencapai seratus ribu keping kaset dan satu juta lembar buletin stensilan. Rakyat juga bisa mendengar hampir semua e’lamiyeh Ruhullah melalui berbagai media lain, termasuk Radio BBC berbahasa Persia.
Dalam pesan-pesan itu, Ruhullah selalu mengingatkan bahwa gerakan yang telah dimulai sejak 15 tahun sebelumnya ini bersifat “suci”, bertujuan untuk “menegakkan keadilan dan menentang penindasan yang diperagakan oleh hegemoni Timur dan Barat atas dunia Muslim”, di bawah bimbingan “para ulama” dan dengan “dukungan rakyat Iran dan kaum mustadh’afin”. Beliau menyebutkan: “Gerakan ini masih rapuh, mudah mati. Ia membutuhkan darah syuhada agar bisa tumbuh menjadi pohon yang menjulang tinggi.”
Rakyat kembali dikejutkan oleh kecelakaan aneh paling mengenaskan dalam proses Revolusi Islam Iran pada tanggal 18 Agustus tahun 1978. Bioskop Rex, salah satu teater terbaik di kota Abadan yang kaya minyak, sedang menayangkan film dokumenter berdurasi pendek tentang hasil-hasil pembangunan Syah. Tiba-tiba api dengan cepat melahap keseluruhan gedung bioskop tersebut. Seribu penonton yang mencoba melarikan diri ternyata tidak menemukan pintu keluar, terkepung oleh api yang menjilat-jilat dengan ganas. Lebih anehnya lagi, deretan blangwir (fire engine) yang tiba di tempat kejadian tak dapat beroperasi karena tidak adanya air di daerah sekitar. Pada saat itu, bau hangus dari daging manusia sudah menyebar ke semua arah. Enam ratus orang mati terpanggang secara memilukan, sedangkan empat ratus orang sisanya terbakar sekujur tubuhnya.
Syah semakin terpuruk. Tragedi ganjil ini sangat memukulnya. Tidak habis dia pikirkan bahwa semua rencana serangan baliknya pada Imam Khomeini berjatuhan, bahkan masing-masing rencana itu berubah menjadi kutukan atasnya.
Tak ada reaksi langsung dari Imam menyangkut kejadian ini. Kemungkinan besar lantaran Agustus tahun itu bertepatan dengan bulan Syakban. Terbetik berita bahwa pada bulan Syakban dan Ramadhan tahun itu, Imam Khomeini tenggelam dalam ibadah dan doa. Dia memang suka membaca munajat bulan Syakban Imam Ali bin Abi Thalib. Salah satu cuplikan doa yang paling dikagumi dan kerap disitir dalam kuliah-kuliahnya berbunyi sebagai berikut:
Ilahi, anugerahilah daku dengan kepasrahan-mutlak kepada-Mu. Sinarilah mata hatiku dengan pancaran pandangan-Mu, hingga ia sanggup menyibak hijab (yang menutupi) cahaya-Mu dan mencapai sumber Keagungan-Mu. Jadikan ruh kami senantiasa terpancang kuat dalam ambang Kekudusan-Mu. Ilahi, jadikanlah aku termasuk yang menyahut tatkala Kau panggil dan yang terjatuh pingsan oleh Kedahsyatan-Mu tatkala Kau tatap.
Memperingati perayaan Idul Fitri yang jatuh pada bulan September 1978, masyarakat Iran di berbagai kota turun ke jalan dalam jumlah besar. Babak baru revolusi dimulai. Yel-yel Revolusi Islam ini pun diperkenalkan: “Allahu Akbar, Khomeini Rahbar” (Allah Maha Besar, Khomeini Pemimpin); “Allah, al-Qur’an dan Khomeini”; “Mark bar Syah” (Mampus Syah); “Satu-satunya Jalan Keluar adalah Iman, Perang Suci dan Kesyahidan”. Setelah berbaris di jalanan kota-kota utama Iran, para demonstran biasanya menuju ke gedung-gedung pemerintahan untuk membacakan pernyataan sikap.
Syah benar-benar insaf bahwa tak ada lagi alasan baginya untuk menyombong. Semua tali yang dipegangnya putus, dan busana kebesarannya retas. Raja yang selama bertahun-tahun larut dalam megalomania ini mendadak menampakkan kerendahan diri. Dalam ungkapan manipulatif, Syah menyatakan: “Bangsa Iran telah bangkit melawan tirani dan korupsi. Revolusi bangsa Iran harus saya dukung, baik sebagai Raja maupun warga Iran…Dengan ini saya menjamin (tercapainya) apa yang ingin diberikan oleh syuhada kalian. Dalam revolusi bangsa Iran melawan kolonialisme, tirani dan korupsi ini, saya berada di sisi kalian.”
Imam Khomeini langsung menanggapi tipu daya ini sebagai berikut: “Sekarang kau mengatakan akan memberikan kebebasan untuk rakyat. Dengar, hai orang tengil! Bisa-bisanya kau mau memberikan kebebasan? Hanya Allah yang memberikan kebebasan. Hukum Islam dan Konstitusi yang bisa memberikan kebebasan. Apa yang kau maksud dengan pernyataanmu: kami telah memberi kalian kebebasan? Kapan pula kau pernah memberikan sesuatu pada kami? Sadarkah kau siapa dirimu sebenarnya?”
Sepanjang September, di sana-sini terjadi benturan antara demonstran dan polisi. Para pendukung Khomeini semakin yakin dengan datangnya the unthinkable: Syah mundur. Keyakinan ini tidak datang sekonyong-konyong. Dalam banyak Sokhanrani-e Mazhabi (Ceramah Agama), Imam Khomeini senantiasa membawa tema tauhid, kekuasaan Ilahi dan bantuan gaib (imdad ghaybi) dengan bahasa sederhana yang dipahami oleh rakyat jelata pada umumnya.
Pada 5 September, Perdana Menteri Syarif Emami menetapkan status keadaan darurat militer di Tehran dan 23 kota besar lainnya lewat tengah malam. Setidaknya 10 juta orang terkurung dalam rumah akibat hukum perang tersebut. Pada 6 September, Tehran tampak seperti Stalingrad tahun 1942. Lengang dan mencekam.
Jumat tanggal 8 September, sejumlah besar orang berkumpul di sekitar Alun-Alun Jaleh, dekat gedung Parlemen, untuk memenuhi undangan Syaikh Muhammad Nasiri seminggu sebelumnya. Pasukan yang menjaga gedung Parlemen melaporkan adanya sekelompok orang berkumpul kepada komandan mereka lewat pesawat radio. Pasukan segera diminta membubarkan kerumunan. Satu detasemen tambahan ditugaskan untuk membantu pasukan. Karena panik mendengar teriakan Allahu Akbar yang begitu bertalu-talu, pasukan sekonyong-konyong memuntahkan timah panas ke arah massa. Ratusan orang menjadi korban. Perkiraan awal menunjukkan tidak kurang dari seribu korban jiwa melayang.
Suasana Tehran semakin tidak bisa diredam. Desas-desus beredar di tengah masyarakat bahwa tidak kurang dari 15.000 syahid gugur di Alun-alun Jaleh, “dibantai oleh pasukan Zionis Israel.” Amir Taheri menyatakan bahwa desas-desus itu bermula dari logat Kurdistan yang digunakan secara tidak sengaja oleh salah seorang anggota pasukan pengendali huru-hara asal etnik Kurdi yang berada di lokasi kejadian. Karena penduduk Tehran tidak begitu mengerti logat ini, mereka mengira bahwa Syah telah menyewa tentara Israel untuk memusnahkan revolusi. Kemungkinan besar desas-desus ini sengaja disebarkan oleh kalangan Komunis untuk memancing anarki yang lebih besar.
Pada saat itu, kaum buruh mulai ikut menentang Syah—sesuatu yang sama sekali tidak terduga oleh elit sebelumnya. Buruh industri minyak yang menjadi andalan Syah dan perusahaan listrik negara mogok kerja. Ekonomi Iran praktis terhenti total.
Pada bulan yang sama, Syah meminta Saddam untuk mengusir Khomeini dari kota suci Najaf. Syah mengira bahwa keberadaan Ruhullah di Najaf akan memperkuat posisi religius dan spiritualnya. Untuk menunjukkan solidaritas, melalui saudara kandungnya, Barzan Tikriti, Saddam menawarkan diri untuk membunuh Ruhullah. Barzan bahkan sudah mempersiapkan skenario kecelakaan mobil untuk menghabisi nyawa Ruhullah.
Syah menolak, dan menganggap bahwa kematian Ruhullah hanya akan mengglorifikasinya sebagai syahid. Seluruh milisi dan gerilyawan yang bersimpati pada Ruhullah dan revolusinya bakal langsung menyambut kabar itu dengan perlawanan bersenjata di seantero negeri. Bila hal itu terjadi, Syah mungkin akan mati di tiang gantungan dalam sebuah pengadilan rakyat—seperti yang dituntut oleh faksi komunis dalam kelompok revolusioner. Farah, permaisuri Syah, punya firasat kuat bahwa kematian Ruhullah akan mendatangkan prahara besar buat keturunanya dalam waktu yang lebih lama.
Memperkuat berita di atas, Alexandre de Marenches, Kepala Dokumentasi Eksternal dan Dinas Counter-Espionage (yang lebih dikenal dengan DGSE), menyatakan bahwa Perancis telah mengusulkan kepada pihak Syah untuk “merekayasa pembunuhan Khomeini”, tapi Farah menolak tawaran tersebut. Bagaimanapun, tawaran seperti itu mungkin mudah dilakukan oleh pemerintahan manapun yang sempat disinggahi oleh Khomeini. Tapi Allah punya rencana lain.
Alur sejarah memang selalu berpihak pada Ruhullah. Sejak awal gerakan ini, Ruhullah selalu menekankan pentingnya mencapai kemenangan dengan sesedikit mungkin unjuk kekuatan. Ini sejalan dengan perlawanan model al-Husein di Karbala pada peristiwa Asyura yang berlandaskan slogan “Darah yang Mengalahkan Pedang”. Bagi kaum Syiah, puncak ketertindasan hanyalah berarti puncak kemenangan; semakin tertindas dan tak berdaya seseorang, semakin besar kemenangan dan kejayaan yang bakal diraihnya.
Mendengar kabar bahwa Barzan Tikriti menuju Iran untuk urusan genting pada awal Oktober, Ruhullah bersiap-siap menghadapi segala risiko. Dan seperti dalam semua situasi genting lain, Ruhullah menitipkan surat wasiat yang sudah disegelnya kepada Ahmad. Semua merasa terkejut sekaligus lega saat utusan Barzan hanya meminta Ruhullah meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam. Setelah ditolak oleh semua negeri Islam yang bertetangga dengan Iran, Ruhullah menerima tawaran Sadeq Ghotbzadeh untuk menetap di Perancis.
Dengan berpindah ke Perancis, Ruhullah justru memiliki ruang manuver yang jauh lebih besar. Dari rumah kecilnya di Neauphle-le-Chateau itu, Ruhullah bisa langsung melakukan kontak telepon dengan Muthahhari yang menjadi komandan lapangannya di Tehran. Setelah lebih dari 14 tahun tidak bersahut suara, kontak telepon Ruhullah dengan Muthahhari, Bahesyti, Khamenei dan murid-murid lainnya sering berlangsung sangat lama. Tidak kurang dari 500 orang berkunjung ke rumahnya setiap hari. Selama empat bulan di Perancis, dia berhasil memberikan 132 wawancara radio dan televisi. Rakyat Iran semakin mengikuti degup dan denyut revolusi.
Zbigniew Brzezinski, penasehat keamanan Presiden Jimmy Carter, meneleponn Syah untuk menegaskan dukungan AS sampai titik darah penghabisan. Tapi, Syah menangkap isyarat lain dari Washington sore tanggal 8 November 1978 itu. AS pelan-pelan bakal menelantarkannya di belantara ketidakpastian. Bertahun-tahun kemudian, Nikki Keddie menyitir ucapan pejabat senior AS, Alan Blumenthal, setelah mengunjungi Syah pada waktu itu: “Saya baru saja bertemu dengan zombie di sana.” Jimmy Carter sendiri tidak segan-segan mengadakan kontak dengan Ibrahim Yazdi, salah satu orang dalam lingkaran Ruhullah di Paris. Tanpa dukungan AS, Syah yang sejak menggantikan ayahnya secara misterius terlalu bergantung pada AS itu semakin kelimpungan.
Seorang wanita salehah di kota suci Qom mengabarkan bahwa dia berjumpa dengan sesosok makhluk gaib yang memberinya kabar gembira tentang kepulangan Khomeini. Kalangan revolusioner memanfaatkan berita dan meminta rakyat Iran menaiki atap rumah masing-masing dan meneriakkan takbir pada bulan purnama tanggal 27 November. Gema takbir membahana di seluruh negeri. Jutaan orang secara bersamaan menyatakan telah menyaksikan wajah Imam Khomeini di bulan. Sebuah koran nasional Iran, Navid, menuliskan: “Rakyat kita, yang sedang berjuang melawan Imperialisme di bawah pimpinan AS, telah melihat Imam dan pemimpin mereka, Khomeini Sang Penghacur Berhala, tergambar di bulan. Segelintir orang tidak bisa menyangkal sesuatu yang disaksikan oleh mata kepala seluruh bangsa.”
Pada 2 Desember 1978, lebih dari 2 juta orang turun ke jalan di Alun-alun Syahyad Tehran pada bulan Muharam. Imam Khomeini selalu menekankan pentingnya perayaan Muharam dan Safar bagi kemenangan Revolusi Islam Iran tahun 1979. (Cari pernyataan Imam Khomeini mengenai hal ini).
Menjelang akhir Desember 1978, ribuan demonstran mati tertembak peluru tentara Syah di berbagai kota besar Iran. Seorang mullah bergegas menghubungi Ruhullah dan memohonnya untuk meminta rakyat mundur dari jalanan demi menghindari korban yang lebih banyak. Ruhullah mengabaikan permintaan itu. Dia punya “suara lain” yang harus didengarnya. Itulah suara yang berbunyi: Katakanlah, ‘Aku memerintahkan kepadamu satu hal saja—yakni Engkau bangkit demi Allah, berpasangan atau sendiri, kemudian berpikirlah’ (QS 34: 46).
Bagi Ruhullah, ayat di atas merupakan ketetapan bahwa “jalan satu-satunya menuju reformasi di bumi adalah dengan bangun dari tidur yang melenakan dan bangkit dari jurang ketakberdayaan.” Menurutnya, “kebangkitan di jalan Allah” adalah cara mengatasi kondisi menyedihkan kaum tertindas, terutama umat Muslim, di dunia dewasa ini. Tanpa kebangkitan dan pengorbanan di jalan itu, segenap persoalan takkan bisa diatasi. Dan di akhir jawabannya, Ruhullah mengejutkan mullah tersebut: “Pasukan Syah tak lebih dari bayang-bayang dan bayang-bayang takkan bisa bertempur.”
Hasan Nazih, seorang pengacara yang beralih profesi menjadi politisi, mengunjungi Imam Ruhullah Khomeini di rumah pengasingannya di Neauphle-le-Chateau. Dia melihat orang yang begitu “determined dan tidak pernah ragu mengambil tindakan.” “Orang ini,” kenang Hasan, “yakin bahwa dirinya selalu berhubungan dengan Allah.”
Ruhullah adalah pemimpin yang energik, sekalipun hidup penuh kebersahajaan. Dia terbiasa tidur di atas lantai, memakan roti dan keju kering (panir). Dalam ratusan ceramahnya, dia selalu merujuk dirinya sebagai “pelayan kalian”, “bukan siapa-siapa”, “pelajar agama kecil” atau “seseorang lanjut usia di akhir-akhir hidupnya”. Banyak pemimpin asing yang memberikan kesaksian bahwa Ruhullah adalah manusia suci. Andrew Young, Perwakilan Tetap AS di Perserikatan Bangsa-bangsa dan penasihat Presiden Carter, melukiskan Ruhullah sebagai “Santo abad 20”.
Dalam usianya yang sudah mendekati 80 tahun dan kondisi hidup yang serba menderita itu, Ruhullah bisa bekerja 12 sampai 14 jam sehari. Bandingkan dengan keadaan musuhnya, Syah, yang pada saat-saat ini hidup dengan bantuan kemoterapi. Hari-hari akhirnya di Iran diisi dengan menelan puluhan jenis pil anestetis dan sedatif.
Ide-ide konyol mulai mengaduk-aduk otak Syah. Mulai dari ide Jeneral Gholam-Ali Oveissi, penguasa militer Tehran, untuk memenjarakan 20.000 aktivis di pulau Kish, sampai usulan Jenderal Mir-Shapour untuk menginvasi Afganistan demi mengalihkan perhatian, sampai Hasan Emami, imam masjid Tehran, untuk menyogok Ruhullah dengan uang tunai senilai 9 juta poundsterling. Ide terakhir ini bahkan sempat digulirkan oleh Alinaqi Kani, Menteri Urusan Wakaf, dengan pertama-tama mengontak Syaikh Zayed Ibn Sulthan al-Nahiyan, Amir Abu Dhabi. Al-Nahiyan langsung menyetor uang itu kepada Iran.
Hanya saja, tak ada penengah yang berani atau sudi melaksanakan ide konyol itu. Semua go-between menyatakan kemustahilan tercapainya usaha gila itu. Ruhullah yang terkenal sangat zuhud ini bukan hanya akan menolak, tapi pasti akan tersinggung dengan orang yang melontarkannya.
Media massa pemerintah mulai mengulang-ulang berita bahwa Syah akan melakukan “lawatan singkat ke luar negeri”. Keadaan dalam negeri semakin tidak terkendali, lebih-lebih setelah Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abbas-Karim Gharabaghi diam-diam mengalihkan kesetiaan pasukannya kepada Imam Khomeini. Dia mengakui bahwa sekalipun pemerintah Iran memiliki Angkatan Bersenjata terkuat ke-6 di dunia, tapi pasukannya tidak akan mampu menghadapi kekuatan Khomeini dan rakyat yang mendukung di belakangnya.
Syah dan Ratu Farah akhirnya bertekuk lutut di hadapan rangkaian takdir yang menimpa mereka. Pada 16 Januari 1979, Shapour Bakhtiar meminta mereka meninggalkan Istana Niavaran yang sejak September tampak begitu angker. Pemutusan aliran listrik yang diorkestrasi oleh kalangan revolusioner ini membuat istana terbesar Syah ini lebih mirip rumah hantu ketimbang kediaman seorang Syahensyah (Raja Diraja).
Imperium Persia yang pada bulan Oktober 1971 genap berusia 2.500 tahun ini akhirnya runtuh. Perayaan ulang tahun yang diselenggarakan di Persepolis dengan biaya mencapai 120 juta dolar ini ternyata sekaligus menjadi obituarinya dengan cara paling ironis. Pakar politik dan ahli strategis paling visioner sekalipun tak akan menyangka bahwa ulama tua dari Qom ini akhirnya mampu, meminjam kata-katanya sendiri, “menjotos rahang Syah.”
Segala kesombongan dan kebejatan Syah memang tidak datang sekonyong-konyong. Imam Khomeini pernah mengingatkan: “Semua kerusakan di dunia ini terjadi secara perlahan.” Kerusakan dan kesesatan manusia tidak terjadi dalam sehari semalam. Demikian pula dengan perbaikan dan penyempurnaannya. Imam Khomeini dan Syah adalah dua contoh dalam dua jalur berbeda ini.
Begitu ditinggal Syah, suasana seluruh kota besar di Iran semakin mencekam. Hampir setiap saat terjadi bentrokan antar pasukan pemerintah dan gerilyawan bersenjata di bawah payung organisasi komunis Partai Tudeh maupun kelompok-kelompok ultranasionalis seperti Mujahidin Khalq. Teror dan penjarahan di berbagai daerah berpenduduk kaya ditebar oleh kedua faksi tersebut, sehingga menyebabkan keadaan tidak terprediksi sama sekali.
Saat terbang dengan pesawat Jumbo jet milik maskapai Air France menuju Tehran yang masih diliputi suasana tegang, Khomeini terlihat begitu hening dan tenang. Banyak orang di sekitarnya, termasuk wartawan yang hadir dalam pesawat itu, terbelalak menyaksikan ketenangan misterius yang mengalir di seluruh sel darah Khomeini. Wartawan Le Monde bernama Paul Balta tak kuasa menahan diri dan mengajukan pertanyaan berikut: “Bagaimana perasaan Yang Mulia dalam perjalanan kembali ke tanah air setelah 15 tahun hidup dalam pengasingan?” Kontan Ruhullah menjawab: “Hic ehsasi nadaram (Saya tidak merasakan apa-apa).”
Mendengar jawaban ajaib itu, jurnalis senior asal Amerika Serikat, Peter Jennings, meminta juru kameranya untuk mendekat dan menanyakan kembali hal serupa. Jawaban Ruhullah ternyata persis sama. Wartawan Iran, Mansur Taraji, merekam semua adegan itu dan menayangkannya ke seluruh penjuru Iran. Ternyata, ini hanya satu dari berbagai sikap “aneh” Khomeini sepanjang memimpin Iran.
Bagi orang yang membencinya, semua hal menyangkut Khomeini hanya akan memperkuat prasangka bahwa dia adalah diktator bengis, gembong teroris atau pembunuh berdarah dingin yang tidak manusiawi. Bagi mereka yang mengenalnya dari dekat, jawaban itu adalah manifestasi pengendalian dirinya yang sudah mencapai tingkat tertinggi. Orang bisa melihat sikap itu dari sudut mana pun dan mengemukakan pandangan apa pun, tapi jelas Khomeini dan warisannya tidak akan bergeser akibat komentar-komentar kita. Dia telah sampai pada suatu keyakinan dan hubungan dengan Sang Mutlak sehingga apa pun selain-Nya menjadi tidak berarti atau kurang relevan.
Ratusan ribuan pendukung Khomeini menyambut kedatangannya di Bandara Udara Mehrabad. Rakyat Iran hari itu merasakan kegembiraan yang tidak pernah disaksikan sebelumnya. Jutaan orang menyambut dan menunggu untuk bertemu dengan “Sang Imam”. Untuk menghormati syuhada yang telah gugur dalam perjuangan menumbangkan Syah, Imam Khomeini langsung menuju ke pemakaman baru Tehran, Behesyt-e Zahra.
Di pemakaman itu, Imam Khomeini mengecam rekayasa dan penipuan panjang Syah terhadap rakyat Iran. Dia juga menentang upaya Syapour Bakhtiar untuk menggantikan Syah dalam suatu pemerintahan transisi. Dia bertekad “merontokkan gigi (Bakhtiar)” bila membandel.
Inilah untuk pertama kali rakyat Iran melihat Sang Imam dari dekat setelah hampir enam belas tahun berpisah. Kepada sejumlah orang kepercayaannya, Khomeini menyatakan bahwa “keadidayaan regional” Syah yang terlihat begitu besar itu ternyata tidak berarti apa-apa. Sehabis menyampaikan pidato berapi-apinya, Khomeini menuju sekolah menengah Refah yang telah diubah menjadi pusat markaz komando revolusi. Ratusan ulama, tokoh masyarakat, mantan pejabat dan wartawan berdesak-desakan menuju gedung sekolah ini.
Ahmad mempersiapkan sebuah konferensi pers untuk Khomeini, dibantu oleh Muhammad Ali Raja’i, mantan guru di sekolah Refah dan calon perdana menteri dan presiden pertama Iran setelah era Bani Sadr. Ketika para wartawan nasional dan internasional sudah berkumpul, tiba-tiba Khomeini memanggil Ahmad dan menanyakan waktu shalat Magrib. Ahmad mendesak ayahnya untuk melakukan konferensi pers terdahulu sebelum menunaikan shalat, mengingat penjelasan Imam Khomeini pada saat itu akan menentukan masa depan revolusi. Imam Khomeini menjawab: “Tidak ada masalah yang lebih besar daripada shalat. Bila saya menghadap Allah, maka semua tugas lain akan Dia tangani.”
Sejak Syah meninggalkan Iran dan Imam Khomeini datang, tidak ada yang sepenuhnya dapat meramalkan apa yang bakal terjadi dengan Iran sebagai bangsa dan negara. Apa saja bisa terjadi, dalam tempo yang singkat, dan menjungkirbalikkan segala sesuatu yang telah direncanakan. Bagaimana tidak! Semua tentara Syah masih utuh. Pasukan Garda Kerajaan yang dijuluki dengan “Abadi” masih berjaga di Istana Syah. Bakhtiar masih berkuasa, dan mengendalikan militer. Milisi gerilyawan Kiri juga menguasai daerah-daerah pinggiran kota dan menyita sejumlah besar gudang persenjataan. Kaum nasionalis sekuler pro Mossadeq juga tak bisa begitu saja diabaikan.
Tapi, sejarah sepertinya berhenti melangkah, menunggu aba-aba dari Sang Imam. Begitu kuat tenaga yang dimilikinya, sehingga semua faksi yang semula saling bertentangan tertahan di tempatnya masing-masing. Ini bukan sekadar pengaruh karisma, tapi kombinasi selaras dari berbagai faktor. Paling penting ialah ketiadaan ego dalam diri Sang Imam. Jika salah satu faksi merasa ada permainan di balik langkah Imam, maka mereka akan melawan dan mengakibatkan kekacauan total. Imam Khomeini meminta semua faksi mendukung kerja komite-komite revolusi di bawah komando Muthahhari dan Bahesyti.
Pada 4 Februari, Khomeini menunjuk Mahdi Bazargan untuk menjadi Perdana Menteri tandingan Bakhtiar. Masa jabatan Bazargan hanya bersifat transisional, sampai semua persiapan selesai untuk mengadakan referendum nasional. Pada waktu bersamaan, Imam Khomeini meminta Musthafa Chamran, seseorang yang telah Imam Khomeini kenal sebagai pribadi teknis sekaligus revolusioner, untuk mengotaki pembentukan Pasdaran-e Inqelobe Islam (Garda Revolusi Islam).
Imam Khomeini memulai kampanye untuk menggalang dukungan bagi pembentukan pemerintahan Islam sesuai prinsip wilayah al-faqih dan pemerintahan Islam yang telah diwacanakannya beberapa tahun lampau. Bahesyti, Muthahhari, Khamenei, Rafsanjani dan sebagainya membentuk Partai Republik Islam (Hezb-e Jumhuriye Islami). Imam menyerukan slogan: “Tidak Timur, tidak Barat, Republik Islam! (La Syarqiyyah, wa la Gharbiyyah, Jumhuriyyah Islamiyyah).”
Tanggal 11 Februari 1979, setelah berbagai pertempuran antara Angkata Udara Iran yang pro-Khomeini dan Garda Kerajaan, Dewan Tertinggi Militer menyatakan kenetralannya. Periode 1 sampai 11 Februari ini kemudian dijuluki sebagai “Dekade Fajr,” yang dirayakan sebagai Hari Kemenangan Revolusi Islam.
Jauh sebelum periode ini, Imam Khomeini senantiasa mengemukakan bahwa pelaksanaan komprehensif atas hukum-hukum Islam tidak mungkin terjadi tanpa pembentukan pemerintahan Islam dalam kehidupan sosial. Imam Khomeini menegaskan, “Islam identik dengan pemerintahan Islam. Perintah-perintah Islam adalah tanda-tanda (keharusan) pemerintahan Islam, karena semua itu ditujukan untuk pembentukan pemerintahan Islam.” Imam Khomeini menegaskan,
“Sifat hukum Islam yang komprehensif—mulai dari hukum terkait dengan hubungan dengan tetangga, hukum anak-anak, keluarga, urusan-urusan pribadi, pernikahan, hukum-hukum dalam situasi perang dan damai, hubungan-hubungan dengan negara-negara lain, hukum-hukum ekonomi, perdagangan, industri, dan pertanian— menunjukkan bahwa semuanya dimaksudkan untuk mengelola kehidupan masyarakat…Kedua, tilikan singkat atas sifat perintah-perintah Syariat akan membuktikan keniscayaan untuk membentuk sebuah pemerintahan dalam rangka mengeksekusi berbagai macam hukum Islam yang kaya tersebut. Tanpa membentuk pemerintahan yang demikian, mustahil hukum-hukum itu bisa dilaksanakan.”
Lebih jauh, lantaran pemerintahan Islam itu terkait erat dengan jihad seorang manusia untuk melaksanakan hukum-hukum Syariat, maka pemegang wewenang dalam pemerintahan itu haruslah seseorang yang mengerti hukum Islam atau faqih. Bila tidak, pemerintahan tersebut tidak akan mengarah atau diarahkan demi mencapai tujuan tersebut. Inilah yang beliau maksudkan dengan wilayah al-faqih. Beliau menyatakan, “Tanpa wilayah al-faqih dan tuntunan Ilahi, thaghut (penguasa tiran) akan menang. Thaghut pada akhirnya bisa dikalahkan apabila pemimpin adil ditentukan melalui (sistem) yang dikehendaki oleh Allah.”
Pada 30 dan 31 Maret (10 dan 11 Farvardin) rakyat Iran menjatuhkan pilihan untuk pembentukan Republik Islam. Lebih dari 98.2% suara menyetujuinya. Khomeini menyebut hasil itu sebagai kemenangan “kaum mustadh’afin atas mustakbirin.”
Bagi Imam Khomeini, pemerintahan Islam dan wilayah al-faqih adalah syarat mutlak demi melakukan jihad melawan setan dari jenis manusia. Inilah setan yang kerap beliau rujuk sebagai mustakbirun (para penyombong). Berkenaan dengan kewajiban melawan kaum mustakbir yang disimbolkan dengan Fir’aun dalam al-Qur’an, Imam Khomeini berkata, “Sudah sering kita membaca al-Qur’an dan senantiasa kita membacanya bahwa Fir’aun berbuat demikian dan Nabi Musa berbuat demikian. Tapi, kita tidak merenungkan semua itu. Baiklah, untuk apa kiranya al-Qur’an menyebutkan semua kisah ini?…Tentu agar kau menjadi seperti Musa dan melawan Fir’aun di zamanmu.”
Melalui pemaknaan ini, dengan mudah kita bisa memahami alasan filosofis dan teologis di balik kegigihan Imam Khomeini menyerukan perlawanan atas dominasi Amerika Serikat (AS) dan Israel. Bagi beliau, AS dan Israel bukan saja simbol setan, melainkan penampakan konkret dari setan batin. Jihad melawan setan konkret dalam bentuk AS dan Israel ini sama pentingnya dengan jihad menegakkan prinsip-prinsip moral dan membina karakter-karakter sempurna di dalam jiwa.
Tujuh belas tahun kemudian, semua yang beliau katakan tentang AS dan Israel sejak awal-awal Revolusi yang terdengar aneh pada waktu itu sekarang terlihat nyata di hadapan mata kita. Ratusan ribu nyawa tak berdosa melayang akibat kebiadaban AS dan Israel selama kurun waktu 4-5 tahun belakangan ini saja. Di mata kita semua sekarang sudah sangat jelas bahwa Pemerintah AS di bawah George W. Bush patut diberi gelar sebagai setan besar (syaithan-e buzurg)—gelar yang 26 tahun lalu terasa begitu pejoratif. Setan kecil yang ada dalam batin kita tidak punya senjata pemusnah massal dan dana seperti AS dan sekutu-sekutunya yang sewaktu-waktu bisa dipakai untuk membantai bocah-bocah Palestina, Lebanon, Irak, Afghanistan dan entah bagian dunia yang mana lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar