Kecupan Kalimat untuk Pujaan Hati
SEBUAH jumbo jet dan jutaan rakyat yang mau menukar nyawanya demi satu nama. Di Tehran, Iran, saat penanggalan menunjukkan 1 Februari 1979, orang menyemut di Bandara Mehrabad sedari fajar menyingsing, tak henti-hentinya mendongak ke angkasa, menanti sebuah Air France muncul di cakrawala. Mereka berkerumun di sana sini, mengangkat banyak poster, saling berjabat tangan, sama-sama meneteskan air mata haru, seakan yang akan mereka saksikan nanti adalah Bahtera Nuh.
Khomeini – Ruhullah Khomeini. Hanya ini nama yang mereka tunggu. Tiga bulan terakhir ini, mereka turun ke jalan bermodalkan nama itu, mendengung-dengungkannya di banyak tempat, setiap saat. Ia adalah palu godam yang dengan itu mereka menghancurkan tahta merak Reza Pahlevi, rezim tangan besi dukungan Amerika. Ia ibarat tongkat Musa yang dengan itu mereka menyihir tentara Shah, terkuat kelima di dunia; menjadikannya, persis seperti kata Khomeini, ‘bayang-bayang yang tak dapat berperang’. Ia juga insulin dosis tinggi yang menyemangati mereka menahan peluru tentara loyal Shah di jalan-jalan Tehran.
Khomeini masih di dalam perut Air France saat itu, terbang bersama puluhan wartawan media internasional yang ingin meliput langsung peristiwa bersejarah itu.
Paul Balta dari Le Monde satu di antara mereka. Saat kesempatan terbuka, dia tergerak menggali apa yang bergejolak di hati Khomeini. Adakah dia gembira bisa menghirup kembali sejuknya udara Tehran? Adakah dia senang Shah telah terguling dan orang-orang menuruti segala instruksi revolusinya?
Sebaris pertanyaan ini pun meluncur: “Bagaimana perasaan Anda?”
Khomeini, bersorban hitam dengan alis melengkung seperti elang, menjawab seketika: “Hic ehsasi nadaram (Saya tidak merasakan apa-apa).”
Wartawan teve ABC, Peter Jennings, ikut mendengar jawaban itu. Dia nyaris tak percaya. Ulama ini bakal menjadi orang paling penting di Iran, penentu hidup mati revolusi yang telah menggelinding, tapi “tidak merasakan apa-apa”. Bagaimana bisa?
Dia minta juru kameranya segera mendekat, menyorot wajah Khomeini, sekali lagi. Dia ingin mengulangi pertanyaan Balta. Tapi hasilnya sama: “hic ehsasi nadaram!”
Khomeini kembali menekuni buku di hadapannya. Hanya sesekali dia berbicara dengan putra sekaligus asisten pribadinya, Ahmad. Tak ada raut kegembiraan yang membuncah. Tak ada gurat penantian panjang. Bahkan kerut di keningnya tak bergeser ketika Air France itu mendarat di Tehran dan 5 juta lebih orang yang telah menunggunya bersorak tanpa henti, menjulur-julurkan tangan ke langit, berharap berkah dan keselamatan darinya.
Di Mehrabad hari itu, Khomeini lebih dari sekadar menjadi episentrum revolusi. Dia menjadikan dunia, yang menyaksikan detik-detik kedatangannya dari layar kaca, mengecap kembali citra ulama yang menjulang; sebagai pandu, suluh kehidupan orang banyak, semua lapisan. Hari itu hingga umurnya berakhir enam tahun kemudian, dia jadi pemimpin revolusi yang seolah tak pernah berhenti menghidupkan kembali beberapa nabi, sekaligus.
Seperti Musa, seperti Daud, seperti Ibrahim … dia menjadi sumbu yang mengingatkan manusia untuk bangkit melawan segala penindasan; menanamkan cinta pada Ilahi dan kebencian pada dosa dan maksiat; memberi perintah, mengutarakan petunjuk dan mengeluarkan hukum yang harus dipatuhi; melindungi dan memelihara moralitas masyarakat; mengajarkan manusia untuk teguh menjaga syariat dan mengenyahkan segala nafsu rendah; menanamkan hasrat mendekatkan diri kepada Allah, berkhidmat pada sesama manusia dan menyebar kedamaian ke semua makhluk.
Kita beruntung. Khomeini, wafat pada 1989, masih mewariskan banyak karya ilmiah. Di antaranya, Chehel Hadits (Telaah atas 40 Hadis Akhlak dan Mistik), membahas tentang cara menggapai “Kesempurnaan Mutlak”, yakni Allah SWT. Buku itu, ditulis pada 1937, saat Khomeini masih berusia 37 tahun, merupakan versi tertulis ceramah Khomeini di Qom. Inilah ceramah di awal revolusi yang di belakang hari melahirkan sosok ulama-cum-pejuang seperti Murthada Muthahhari, Muhammad Husein Bahesyti, Muhammad Jawad Bahonar, Ali Khamenei dan Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani – lima di antara sekian ratus pengayun raket Revolusi Islam Iran.
Dalam buku itu, Imam Khomeini bilang: “Wahai para pecinta Dzat Yang Mahakekal dan para pendamba Kekasih Yang Suci dari aneka cacat, wahai kupu-kupu yang terbang mengitari Cahaya Keindahan Yang Mahamutlak dan para musafir yang tersesat di lembah kebimbangan dan kesirnaan, kembalilah sejenak kepada fitrah kalian, bukalah lembaran-lembaran jiwamu, untuk mengetahui bahwa Dzat Yang Mahakuasa telah menggariskan dalam fitrah kalian suatu ketetapan yang berbunyi: …fitrah Allah yang dengannya Ia menciptakan manusia. (QS Al-Rûm [30]: 30) Sesungguhnya aku palingkan wajahku kepada-Nya, yang telah menciptakan langit dan bumi…. (QS Al-An‘âm [6]: 79)”
“Sampai kapan engkau akan menyia-nyiakan cinta fitri yang dilimpahkan Allah dengan mencintai sebarang kekasih karena khayalanmu yang sesat? Jika objek cintamu adalah keindahan-keindahan tak sempurna dan kesempurnaan-kesempurnaan yang terbatas, mengapakah api cintamu tak mereda setiap kali kamu meraihnya?”
“Bangunlah dari tidur nyenyak yang membuatmu lupa, sambutlah kabar gembira ini, bergembiralah karena engkau memiliki Kekasih tanpa ketaksempurnaan, tanpa cacat, dan tanpa batas. Cahaya yang kau cari adalah Cahaya yang sinar-Nya menerangi alam semesta.” ****
(Dikutip dari buku The Secret of Your Spiritual DNA terbitan Hikmah 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar