Rabu, 14 Januari 2009

Dibalik Pertemuan Presiden Mesir dan Raja Arab Saudi

Raja Yordania, Abdullah II dan Ratu Rania


Raja Arab Saudi dan presiden Bush...akrab bangetzz....

Rezim Zionis Israel terus melakukan serangan membabi-buta ke bangsa tertindas Palestina di Gaza. Pada saat yang sama, Presiden Mesir, Husni Mobarak, hari Selasa, melakukan pertemuan dengan Raja Arab Saudi, Abdullah. Setelah itu, Kuwait akan menjadi tuan rumah para menteri luar negeri Liga Arab, hari Jumat, tepatnya tanggal 19 Januari. Para pemimpin Arab pun terus didorong untuk membahas prakarsa gencatan senjata di Jalur Gaza. Saat ini, prakarsa yang diajukan Mesir dan Turki dijadikan sebagai dua prakarsa yang akan menjadi topik pembahasan dalam perundingan.

Pada awalnya, prakarsa Mesir berlandaskan gencatan senjata sementara, tapi pada akhirnya, prakarsa itu menyatakan gencatan senjata permanen antara Rezim Zionis Israel dan Gerakan Perjuangan Islam Palestina (Hamas). Namun prakarsa Kairo itu ditolak Hamas. Sami Abu Zuhri, seorang pejabat senior Hamas mengatakan, "Hamas menolak segala prakarsa yang bertentangan dengan kepentingan dan tuntutan bangsa Palestina."

Di tengah kondisi seperti ini, kelompok-kelompok negara Arab bergabung dengan Rezim Zionis Israel guna menekan perjuangan di Gaza. Arab Saudi dan Mesir adalah dua negara yang bersikap pasif dalam menyikapi serangan membabi-buta Israel ke Gaza yang sudah berlangsung 18 hari. Tentunya, langkah yang ditempuh kedua negara tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Bahkan sejumlah media massa mengungkap, sejumlah pemimpin dunia Arab seperti Arab Saudi, Mesir dan Yordania, mengetahui rencana agresi ke Gaza. Ketidakpuasan Kairo atas Zionis Israel yang tidak mampu menghentikan perjuangan Hamas menunjukkan perspektif negatif politik Mesir mengenai Gaza.

Para pengamat politik berpendapat, Mesir yang mempunyai pandangan sinis terhadap Hamas membuat gerakan ini yang juga berperan sebagai pihak utama dalam masalah ini, menolak prakarsa Kairo. Untuk itu, prakarsa Mesir tidak mempunyai peluang besar untuk dikemukakan di sidang Kuwait. Adapun prakarsa Turki yang berlandaskan pada poin gencatan senjata segera di Gaza, pembukaan pintu-pintu gerbang dan pencabutan aksi blokade, lebih diterima sebagian besar negara Arab seperti Suriah, Yaman, Lebanon, Aljazair dan Libia. Bahkan Hamas sendiri menerima prakarsa yang ditawarkan Turki.

Namun karena sejumlah negara seperti AS, Prancis dan Arab Saudi tengah mengaktifkan peran Mesir dalam isu Gaza. Untuk itu, Presiden Mesir, Husni Mobarak dipertemukan dengan Raja Abdullah dengan harapan dapat mengubah prakarsa Mesir, sehingga sidang yang di Kuwait lebih diorientasikan ke poin-poin yang berlandaskan prakarsa Mesir yang sudah direvisi.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa opini umum sangat kecewa akan kebijakan para pemimpin Arab dalam agresi Israel ke Gaza yang sudah berlangsung 18 hari. Sikap mereka sangat lamban, bahkan bisa dikatakan membiarkan bangsa Palestina dalam kondisi tertindas. Itu bisa disaksikan pada kebijakan Mesir yang secara terang-terangan menutup pintu Rafah dan menghalangi bantuan-bantuan untuk warga Gaza. Inilah fenomena politik kotor dunia Arab yang tidak dapat dipungkiri dalam menyikapi agresi Israel ke Gaza. Sadarlah bangsa Arab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar