

Saat Rezim Zionis Israel menyerang Lebanon Selatan sejumlah negara-negara Arab mendukung penuh serangan itu dan menyebut Hizbullah sebagai penyebab terjadinya perang. Namun untuk kali pertamanya dalam sejarah perang Zionis Israel, biaya perang kali ini di Gaza ditanggung oleh Arab Saudi. Tidak cukup itu, koran Israel Yedioth Ahronoth yang dikutip Kayhan Iran menulis, sejumlah negara-negara Arab kepada Israel mengatakan, jangan biarkan Ismail Haniyah menjadi Sayyid Hasan Nasrullah kedua!
Israel lebih rapuh dari sarang laba-laba (Sayyid Hasan Nasrullah)
Perang yang dimulai dengan serangan jet-jet tempur Rezim Zionis Israel pada tanggal 27 Desember 2008 terhitung perang ke-6 di Timur Tengah. Empat kali rezim ini berperang melawan negara-negara Arab dan berhasil mempecundangi mereka. Perang kelima ketika melawan Hizbullah Lebanon lebih dikenal dengan nama Perang 33 Hari. Untuk kali pertamanya militer Israel yang dikenal sebagai angkatan bersenjata terkuat di Timur Tengah harus rela dipermalukan oleh para pejuang Hizbullah. Sementara perang keenam disebut oleh Ismail Haniyah, Perdana Menteri sah dan pilihan rakyat Palestina sebagai Perang Furqan. Perang antara hak dan batil.
Apa yang terjadi pada hakikatnya dalam proses ratifikasi Resolusi 1860 oleh Dewan Keamanan PBB tidak seperti yang kita bayangkan selama ini. Suara abstein Amerika bukan karena tidak setuju dengan 9 poin Resolusi 1860, tapi satu bentuk sikap yang muncul akibat begitu gembiranya Amerika menyaksikan draft itu diterima dan diratifikasi sehingga menyatakan suara abstein. Sederhana, Amerika tidak menyangka resolusi itu sama persis dengan yang diinginkannya demi menjamin keinginan Rezim Zionis Israel sebagai pelaku serangan brutal ke Gaza dan yang memulai perang darat. Artinya, Resolusi 1860 tidak mungkin ditentang Amerika bahkan sebaliknya ideal dan dinginkan Amerika dan sekutunya. Dan suara abstein sejatinya untuk menutupi kegembiraan yang berlebihan mereka. Demonstrasi luas di seluruh dunia yang menekan Rezim Zionis Israel agar menghentikan serangan brutalnya punya pengaruh keluarnya Resolusi 1860 DK PBB. Namun perlu dicamkan bahwa resolusi ini dikeluarkan setelah 14 hari perang terjadi. Selama ini pula Israel, Dewan Keamanan PBB, Amerika dan sekutunya tidak mempedulikan opini umum yang tengah berkembang di seluruh dunia. Resolusi DK PBB dikeluarkan setelah dimulainya perang darat oleh militer Israel dan kegagalan mereka menghadapi perlawanan para pejuang Palestina. Dari sini, Resolusi 1860 tidak ada bedanya dengan Resolusi 1701 DK PBB dalam Perang 33 Hari. Kesembilan poin Resolusi 1860 DK PBB tidak menyebut sama sekali tentang Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas). Padahal tujuan serangan Zionis Israel ke Gaza jelas-jelas ingin menghancurkan Hamas. Yakni dua pihak yang berperang adalah Israel dan Hamas. Lalu mengapa Hamas tidak disebut sama sekali dalam 9 poin tersebut? Condoleezza Rice kepada wartawan mengatakan, “Kami keberatan menyamakan Hamas dengan Israel. Di sini tidak seperti Resolusi 1701 di mana ada negara Lebanon dan Israel. Dalam Resolusi 1860 ada organisasi teroris dan pemerintah Israel yang tengah membela dirinya dari serangan roket Hamas.” Pernyataan Rice cukup menggelikan. Karena dalam Perang 33 Hari, Israel berperang dengan Hizbullah yang menurut mereka adalah organisasi teroris. Dalam Resolusi 1701 nama Hizbullah disebutkan secara terpisah dengan pemerintah Lebanon. Rice tampaknya juga lupa bahwa Hamas adalah pemerintahan legal yang dipilih oleh rakyat Palestina yang dosanya hanya karena tidak mengakui Rezim Zionis Israel. Sejatinya Amerika dan Zionis Israel sengaja tidak memasukkan nama Hamas dalam Resolusi 1860 agar tidak mengulangi kesalahan mereka dalam Resolusi 1701. Amerika dan Zionis Israel dengan bantuan negara-negara Arab poros anti Hamas sengaja tidak memasukkan nama Hamas agar pemerintah legal Hamas juga dilupakan orang dan sekaligus melupakan bahwa tujuan menyerang Gaza untuk melenyapkan Hamas. Sikap yang ditunjukkan ini tentu saja untuk menutup-nutupi kekalahan pasti Rezim Zionis Israel di medan perang, khususnya perang darat. Tampaknya para pejabat Zionis Israel yang tidak mampu memenangkan perang di medan pertempuran cukup puas menyaksikan kemenangan mereka di atas kertas bernama Resolusi 1860 Dewan Keamanan PBB. Namun yang paling penting dari dikeluarkannya resolusi ini untuk menyelamatkan rezim-rezim korup Arab, khususnya Arab Saudi dan Mesir dari pemberontakan rakyatnya. Arab Saudi melarang aksi unjuk rasa di negaranya dan akan menindak keras para pelaku unjuk rasa. Di Mesir lebih parah. Karena khawatir akan kudeta, pemerintah Mesir menangkap sejumlah jenderalnya dan menangkap puluhan anggota Ikhwanul Muslimin. Militer Israel Terperangkap di Gaza Berbeda dengan pernyataan Deputi Menteri Pertahanan Rezim Zionis Israel dan Perdana Menteri Ehud Olmert kemarin (Ahad, 11/01) bahwa militer Israel semakin dekat dengan target mereka, sesuai yang diberitakan koran Kayhan hari ini (Senin, 12/01), para perwira dan pejabat militer Israel menyatakan keputusasaannya atas kinerja pasukan Israel dan kegagalan sejumlah operasi militer Israel. Mereka mewanti-wanti bahwa pasukan Israel sewaktu-waktu dapat terjebak dalam perangkap para pejuang Palestina. Karena Hamas punya cukup waktu untuk menyerang pos-pos tentara Israel di mana saja. Para perwira militer Israel menyatakan tidak mampu memahami taktik perang para pejuang Palestina dalam kontak senjata. Apalagi para pejuang Palestina tetap bersabar dan tidak melakukan peperangan terbuka di tempat yang terbuka pula. Seorang pejabat Israel malah mengakui bahwa Brigade Syahid Ezzeddin Qassam, sayap militer Hamas belum mengalami kerugian berarti. Pasukan Hamas sangat terlatih dan memiliki persenjataan dan roket modern. Gabi Ashkenazi, Ketua Staf Gabungan Militer Israel dan Menteri Peperangan Ehud Barak lebih memilih perang segera dihentikan dan milih berdamai. Belum lagi kerugian ekonomi Israel akibat serangan brutal militer Israel ke Gaza. Ketua Asosiasi Industri Israel mengatakan, 10 hari pertama perang para produsen di Israel telah mengalami kerugian lebih dari 172 juta dolar. Kenyataan ini membuat terjadi perselisihan antara mereka dengan Departemen Keuangan Israel. Para analis politik Timur Tengah sepakat bahwa Rezim Zionis Israel tengah menemui jalan buntu dan kekalahan mereka menghadapi perjuangan para pejuang Palestina di bawah pimpinan Hamas adalah satu kepastian. Koran Israel Haaretz meminta militer Israel segera menarik mundur pasukannya dari Jalur Gaza. Karena berlanjutnya perang akan menghancurkan front dalam negeri. Haaretz menambahkan, dengan menekan Gaza Israel berharap dapat memaksa Mesir menyepakati penempatan pasukan asing di jalur-jalur penyeberangan Gaza. Penutup
Amerika yang semakin lemah dan terperangkap dalam resesi ekonomi serta perang di Irak dan Afghanistan tidak akan mampu menolong sekutunya di Timur Tengah. Israel sebagai anak emas Amerika juga tidak akan mampu mengalahkan para pejuang Palestina. Karena yang dihadapinya bukan sebuah kelompok khusus, tapi seluruh masyarakat Palestina. Negara-negara Arab yang berkoalisi dalam front anti Hamas hendaknya segera mengaca sebelum kemarahan rakyatnya membuncah dan menelan mereka. Arab Saudi seharusnya menyepakati usulan Iran untuk memakai minyak sebagai alat untuk menekan Rezim Zionis Israel. Mesir juga harus membuka jalur penyeberangan Rafah agar bantuan kemanusiaan dapat memasuki Gaza. Bila kekhawatiran Menlu Mesir akan masuknya senjata ke sana, mengapa ia juga tidak khawatir akan pengiriman 3.000 ton senjata oleh Amerika ke Israel? Mahmoud Abbas yang masa jabatannya sebagai Pemimpin Otorita Palestina juga telah kehilangan legitimasinya dari rakyat Palestina, karena telah menjual dan membantai rakyatnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar