Minggu, 05 Juli 2009

Pragmatisme Hamas dalam Persepsi Konflik dengan Israel


[ 01/07/2009 - 07:39 ]

Ali Badwan

El-Hayat Londong

Pidato Kepala Biro politik Hamas, Khalid Mishal beberapa saat lalu menjelang dialog Palestina putaran ketujuh antara Hamas dan Fatah di Kairo sehingga mengundang sejumlah besar tema. Pada saat yang sama, pidato itu mengisyaratkan pragmatisme cukup tinggi yang sudah mulai ada sejak lama dalam mufradat politik gerakan Hamas.

Jika diperhatikan pidato Khalid Mishal yang menyampaikan empat pesan dalam pidatonya di Damaskus dan menjawabnya dengan sekali jawab memunculkan sejumlah pertanyaan yang mengundang kontroversi di Palestina dan bahkan Arab. Apa lantas yang baru dalam pidato Mishal?

Yang baru dalam pidato Mishal adalah pesan pertamanya kepad Amerika Serikat dan Eropa (barat). Isinya tentang pandangan politik Hamas terhadap sejumlah peristiwa di kawasan pasca pidato Obama. Mishal menegaskan bahwa gerakannya menengarai adanya perubahan yang perlu disambut baik dalam cara yang ditempuh Amerika terhadap kawasan Timur Tengah dan dunia Islam. Namun ia meminta agar ada perubahan ril di lapangan dan bukan hanya sihir pidato yang hanya sementara. Perubahan sikap Amerika itu juga diisyaratkan pada pertemuan sejumlah petinggi Hamas dengan mantan presiden Amerika Jimmy Carter.

Sehingga Khalid Mishal atas nama Hamas mengulurkan tangan kepada presiden Obama untuk dialog serius Hamas – Amerika. Hamas juga menyatakan siap dengan solusi berdirinya Negara Palestina dengan berdaulat penuh di atas wilayah jajahan tahun 1967 dengan mengambalikan hak pengungsi untuk kembali ke tanah air mereka. Ini adalah menunjukkan fleksibelitas sikap Hamas dan pragmatism yang tinggi yang mulai membedakan sikap politik harian Hamas.

Pesan kedua, disampaikan Mishal kepada Negara-negara resmi Arab, jarang terjadi Hamas menyampaikan ini secara resmi dan terbuka, bahwa pihaknya tidak rela dengan sikap-sikap Arab dalam perundingannya dengan Israel yang sekarang ini berjalan. Hamas meminta agar Arab memiliki sikap strategi yang baru. Pesan ketiga, soal pidato Netanyahu yang mempertahankan prinsip-prinsip zionisme Israel dengan logat sangat congkak, Mishal kembali membuang jauh-jauh riwayat Netanyahu dan mempertahankan masalah-masalah inti nasionalisme Palestina, terutama hak kembali.

Pesan keempat soal keberhasilan dialog Palestina, Mishal menegaskan bahwa untuk mewujudkan hal ini, harus diselesaikan secara runut tiga hal. Pertama masalah penahanan politik, kedua, membebaskan dialog Palestina dari komitmen dengan Israel dan intervensi asing, ketiga, solusi menyepakati satu paket dan solusi parsial.

Dengan demikian, salah orang meyakni bahwa Hamas berjalan menuju perputaran dramastis dalam program, sikap, dan orientasinya. Perubahan yang dibutuhkan dalam melihat sistem politik membutuhkan proses pematangan, bukan hanya didasarkan kepada analisis teori semata, namun membutuhkan analisis eksperimen.

Hamas memiliki pengalaman politik Islam di Palestina dimana ia diembargo oleh Washington ketika membentuk pemerintahan koalisi nasional dan pengalaman-pengalamannya hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar