Kamis, 30 April 2009

Rencana Politik Netanyahu: "Bersatulah Palestina dan Melawanlah"




Faris Abdullah

Dari hari ke hari semakin jelas watak alami Pemerintah ekstrim kanan Israel dimana tidak akan ada suatu kemajuan dalam proses perdamaian. Hal itu jelas dalam Deklarasi Perdana Menteri Israel Netanyahu tentang rencana politiknya dan solusinya dalam konfliknya dengan Palestina. Rencana politik itu akan disampaikan kepada Presiden Amerika, Obama, dalam pertemuan yang akan datang. Rencana ini didasarkan kepada pengakuan terhadap Israel yang berarti membuang jauh-jauh masalah pengungsi Palestina, tidak ada seorang pun warga Palestina di dalam batas-batas Negara Yahudi. Ini akan menjadi justifikasi untuk mengusir warga Palestina yang tersisa di wilayah pendudukan tahun 1948. Ini juga berlaku untuk kota Al-Quds yang menolak kembalinya pengungsi diaspora Palestina untuk kembali.

Kebanyakan alinea rencana Netanyahu hanya melecehkan tim perunding Palestina dan Negara-negara Arab. Bahkan tidak memberikan harapan kepada Palestina akan terbentuknya Negara meski tanpa tentara dan kedaulatan di wilayah Tepi Barat. Dengan situasi ini, ditambah kekerasan dan kejahatan Israel setiap hari, maka situasi akan semakin panas. Tak aneh jika para pengamat sepakat bahwa pemerintah Israel kali ini akan menjadi “pemerintah perang” dan kawasan Timur Tengah akan mengalami perubahan besar, baik di level politik Palestina atau regional. Perpecahan internal akan berlanjut sehingga memberikan dampak negative kepada perlawanan Palestina. Fatah akan mengancam jika Jalur Gaza tidak diserahkan kepadanya. Sementara Al-Quds akan menghadapi aksi yahudisasi hebat dari Israel dan pendudukan asli Palestina akan diusir dari sana.

Kondisi sia-sia tidak akan terjadi bila geng perunding Palestina memiliki orientasi jelas setelah pengalaman pahit selama bertahun-tahun perundingannya dengan Israel. Dimana Israel selama ini hanya bertujuan mengegolkan agenda tertentu berupa normalisasi dengan Arab dan bisa diterima oleh dunia dengan terus melakukan yahudisasi Al-Quds dan mengusir warganya, mencuri tanahnya, meluaskan permukimannya, melanjutkan tembok rasial, menyita sumber dan memisah-misahnya wilayah Tepi Barat.

Apa yang ditunggu oleh tim perunding Palestina setelah Netanyahu mengumumkan deklarasi rencana politiknya yang tidak mengakui Tepi Barat sebagai tanah jajahan Israel, tapi tanah sengketa, sehingga Israel memiliki hak di sana. Sehingga masalah ini perlu dirundingkan. Karenanya, dalam perundingan yang akan digelar, Israel meminta kepada Palestina agar mengakui bahwa Israel memiliki hak di atas 78 persen Palestina. Inilah bahaya pengakuan terhadap Israel. Karenanya, faksi-faksi perlawanan meminta agar hal ini dijadikan syarat untuk mengembalikan persatuan Palestina.

Apa yang ditunggu tim perunding Palestina, padahal Israel membuang jauh-jauh hasil kesepakatan yang sudah pernah dicapai seperti di Annapolis, prakarsa Arab, dan lain-lain. Kenapa perlawanan Palestina diminta mengakui Israel sementara penjajah itu tidak pernah mengakui Palestina.

Setelah arogansi Israel ini, Palestina menolak tuntutan dan syarat yang menjadi penghambat dan penghalang persatuan nasional mereka yakni ; mengakui legalitas penjajah Israel. Baik dengan menerima syarat tim kuartet yang kembali disampaikan oleh Menlu AS, Hillary Clinton atau melalui tuntutan agar Palestina komitmen dengan kesepakatan yang pernah dilakukan PLO yang salah satu isinya mengaui kejahatan Israel. Karenanya, Palestina harus kembali kepada persatuan yang didasarkan kepada perlawanan dimana pengalaman membuktikan ia lebih kuat dan lebih bisa menjaga proyek nasional Palestina, jauh dari kesia-siakan perundingan. Jika perundingan dengan Israel dilanjutkan maka Palestina akan tetap kehilangan orientasi politiknya. Sehingga mereka harus kembali kepada rutenya yang benar yakni dengan dialog dan program nasinal yang menjaga prinsip dasar dan hak Palestina. Sebab masalah ini terkait dengan nasib wilayah Palestina, rakyat, sejarah dan masa depan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar