Selasa, 27 Januari 2009

Holocoust.......oh Gaza......


Apa makna holocaust Gaza? Tiap korban yang gugur membetot simpul kesadaran, menusuk ubun-ubun kemanusiaan, menuntut kita menjawab pertanyaan demi pertanyaan. Dan ketika sebuah jawaban hendak kita rumuskan, ratusan pertanyaan lain berdesak-desakan menanti giliran.

Agaknya kita tak sanggup menjawab seluruh pertanyaan itu sekarang—bahkan mungkin kapan pun juga. Tapi, sekurang-kurangnya, seperti dalam tiap perang, kita penasaran dengan sang pemenang. Penentuan pemenang itu semestinya bisa meredam dentuman pertanyaan yang tanpa henti dan memberi makna atas tragedi yang absurd.

Sayangnya, kemenangan adalah istilah yang relatif. Masing-masing pihak bisa punya definisi berbeda, atau malah bertentangan. Pilot F16 milik Israel punya definisi yang berbeda tentang kemenangan dengan syahid Said Shiyam, mantan petinggi Hamas yang gugur beserta adik dan putranya.

Anak-anak yang gugur akibat sengatan fosfor putih jelas punya definisi kemenangan yang berbeda dengan warga Sderot yang panik bukan main hanya dengan mendengar suara roket Qassam. Kaukab Al-Dayah, bocah Gaza yang kepalanya tertetak patahan bangunan di Gaza City, telah meraih suatu bentuk kemenangan yang bertentangan dengan kemenangan yang ingin diraih oleh pilot F16 yang menghujani Gaza dengan butiran api mematikan dari angkasa.

Dua bentuk kemenangan ini berasal dari dua pusat kesadaran, dua sistem berpikir, dua ranah kemanusiaan, dan dua kepekaan moral yang berbeda.

Pejuang kemerdekaan punya definisi kemenangan yang berbeda dengan penjajah. Di mata seorang pejuang, gugur di jalan membela kehormatan diri, keluarga dan tanah air adalah kemenangan. Di mata penjajah, masuknya senjata-senjata pemusnah massal di wilayah jajahan adalah kemenangan. Bagi warga Gaza perjuangan itulah kemenangan, sedangkan bagi militer Israel pembunuhan itulah kemenangan.

Ehud Olmert mendefinisikan kemenangan sebagai penghancuran rumah-rumah penduduk, perusakan infrastruktur sosial dan pembantaian sebanyak mungkin. Ismail Haniya mengartikan kemenangan sebagai keberanian melawan penjajahan dan penindasan. Ehud Barak mencoba menjadi pemenang dengan menjatuhkan ribuan ton bom curah, fosfor putih dan depleted uranium di sepanjang Jalur Gaza. Sementara Khaled Mesyal, kepala biro politik Hamas, meraih kemenangan dengan menumbuhkan kesiapan rakyat menghadang kebiadaban.

Kemenangan Nazal Rayan, komandan Hamas, mengandung unsur kesabaran, kesiapan berkorban, keteguhan mengabdi, tekad memelihara hak dan sebagainya. Tapi kemenangan Tzipi Livni ditentukan oleh ukuran keganasan, statistik mayat, pemandangan horor, pembersihan etnis yang kilat, diskriminasi ras dan sebagainya.

Di Gaza, kemenangan berarti ketabahan menghadapi blokade, tekanan, ancaman, teror, dan bombardir dari angkasa. Di Tel Aviv, kemenangan berarti tumpahnya sebanyak darah rakyat Palestina. Di hati pejuang Hamas, kemenangan itu adalah terungkapnya kebenaran. Di khayalan penjajah Israel, kemenangan berarti menyebar tipuan. Di Tal Hawa, kemenangan adalah tekad mempertahankan perikemanusiaan, sementara di Ashkelon kemenangan dikukuhkan melalui terlampiaskannya dendam kesumat.

Pimpinan Hamas menyaksikan kemenangan melalui hilangnya dinding yang memisahkan hamba dengan Tuhannya, menguatnya ikatan persaudaraan di antara penduduk, kesediaan saling tolong yang tinggi, solidaritas ribuan orang di berbagai belahan dunia, kepedulian umat Islam pada derita rakyat Gaza, bangkitnya kesadaran publik Arab untuk melawan Israel, tumbuhnya Palestina di hati puluhan juta orang dan lain sebagainya. Semua itu adalah kemenangan yang gilang gemilang.

Rezim zionis mendefinisikan kemenangan dengan kelumpuhan PBB untuk beraksi, konspirasi Mesir dan Arab Saudi untuk menghabisi Hamas dan gerakan-gerakan perlawanan Palestina, dukungan forever and ever AS padanya, derasnya arus disinformasi media pendukungnya di seluruh dunia, bekerjanya jejaring zionis mini di dunia Islam untuk menjustifikasi tindak kejahatan kemanusiaan di Gaza dan sebagainya. Itulah tanda-tanda kemenangan menurut Israel.

Jejaring zionis mini di dunia Islam sebenarnya hanya segelintir. Yang resmi hanya rezim Mesir, Yordania dan Kerajaan Arab Saudi (AS). Saat bom mematikan Israel tercurah atas warga Gaza, Menlu Mesir, Abul Gaith melempar tanggungjawab pembantaian penduduk Gaza pada Hamas. Aksi blaming the victim ini sebenarnya skenario ulangan dari tahun 2006 saat Hizbullah bertempur melawan Israel.

Jejaring zionis mini tidak resmi sedikit lebih banyak dan lebih terselubung. Misalnya, asosiasi pengacara Mesir yang menggugat Hasan Nashrallah, Sekjen Hizbullah, yang mengajak warga Mesir menjebol pintu perbatasan Rafah dengan dada mereka. Ajakan sederhana tersebut mereka plintir sebagai hasutan untuk menggulingkan pemerintahan Husni Muberak (tak ada yang keliru dengan ejaan ini).

Mufti Kerajaan AS (Arab Saudi), Shaleh al-Lahidan, dan Mufti Besar Kerajaan AS, Abdul Aziz Al Syaikh, malah tak segan mengharamkan demo pro Gaza. Dua tokoh itu menyebut demo pro Gaza sebagai tindakan melupakan manusia pada Allah dan tindakan merusak bumi Allah. (Catatan: Israel dan Kerajaan AS anehnya memiliki banyak kesamaan. Yang paling mencolok adalah penggunaan nama moyang sebagai nama negara. Israel adalah nama lain dari Yakub, nabi yang menjadi moyang bangsa Yahudi, sementara Saudi adalah nama suku dari pendiri kerajaan AS, Abdul Aziz Al-Saud).

Di Indonesia, beberapa aktivis jaringan liberal mendisinformasi fakta demi membela eksistensi Israel. Ada yang sampai mencatatkan keterpesonaannya pada Israel. Katanya, orang Israel umumnya ramah, hangat, penuh canda, cerdas dan sebagainya. Padahal, penduduk Palestina (dan Prof. Noam Chomsky) merasa bahwa orang Israel adalah penipu paling ulung. Aktivis ini juga menyatakan bahwa Israel berhasil menyulap tanah yang tandus menjadi surga dunia. Padahal, tanah Palestina sejak ribuan tahun lampau tak pernah tandus—untuk tidak mengatakan paling subur sepanjang Mediterania.

Dua aktivis lain dari jaringan serupa muncul di SCTV untuk mengusulkan perundingan Hamas dan Israel—seolah di Gaza sana sedang ada pesta ulang tahun kembang api. Perundingan apa yang bisa diharapkan terjadi antara pihak yang merasa sangat kuat dan didukung negara adidaya dan pihak yang terpinggir dan terpenjara? Usulan gila lainnya ialah meminta Hamas menghentikan satu-satunya cara untuk menunjukkan eksistensi: melontar roket ke sejumlah pemukiman gigantik ilegal di wilayah pendudukan Palestina. Usulan itu sama konyolnya dengan perintah tidak boleh tertawa saat merasa geli.

Aktivis lain melangkah lebih jauh. Dia melihat Yahudi itu sendiri sebagai agama pasifis, sedangkan Islam dan Kristen berwatak misionaris, imperialis dan ekspansif. Pasalnya, pemeluk Yahudi sampai sekarang baru berjumlah 15 juta jiwa, sementara umat Islam sudah mencapai 1,2 milyar jiwa. Tentu saja aktivis itu menutup diri terhadap fakta bahwa tukang ojek di dekat rumah saya, Pak Sukimin, atau aktivis-aktivis jaringan liberal itu sendiri tak mungkin bisa diakui sebagai pemeluk Yahudi lantaran mereka berasal dari suku-suku non-Yahudi. Suku Jawa, Madura, Sunda, Arab dan sebagainya tak mungkin bisa menjadi Yahudi walaupun mereka telah berpikir, berpenampilan dan berkelakuan mirip David Ben Gurion.

Keyahudian sejatinya terikat dengan masalah ras ketimbang masalah keyakinan yang mempradugakan kebebasan memilih. Dalam kepercayaan orang Yahudi, keyahudian adalah takdir untuk menjadi bangsa peranakan Tuhan. Apapun yang mereka lakukan di bumi ini, selama mereka punya darah keyahudian, tak akan mengubah takdir mereka sebagai bangsa pilihan. Tuhan tak kuasa mengubah takdir itu dan menyiksa mereka. Kedua tangan-Nya terbelenggu oleh keputusan-Nya sendiri.

Jejaring zionis mini itu lupa bahwa manusia adalah sejenis makhluk yang tak bisa dibodohi selama-lamanya. Amira Hass, jurnalis senior di koran Israel, Haaretz (15/01/09), dengan gamblang menyatakan bahwa sejarah tidak bermula dengan roket-roket Qassam. “Tapi, bagi kita, orang-orang Israel, sejarah selalu bermula manakala rakyat Palestina menyakiti kita, dan kemudian rasa sakit itu sepenuhnya kita lepaskan dari konteks yang ada. Kita mengira bahwa jika kita bisa menimpakan sakit yang lebih besar pada rakyat Palestina, maka mereka pada akhirnya akan mengambil pelajaran. Sebagian menyebut penimpaan sakit itu sebagai ‘keberhasilan.’”

Sekarang, kita tinggal memilih siapa yang keluar sebagai pemenang. Pilihan itu penting untuk menegaskan makna ini: kemenangan dan kemuliaan selalu berpihak pada yang benar, sekalipun sebagian besar otak orang di dunia tak bisa atau tak mau mengakuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar