Minggu, 15 Maret 2009

ABDILLAH TOHA: “Tokoh Hamas” di DPR RI


p09-b-1_14img_assist_custom

“Indonesia sudah masuk dalam konspirasi besar negara adi daya Amerika Serikat,” katanya dengan nada kecewa ketika mengomentari pemerintah yang mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB 1747 yang memberi sanksi kepada Iran dalam kasus program nuklir negara itu.

Sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Abdillah Toha memang dikenal salah satu di antara sedikit wakil rakyat yang berani dan tajam tetapi tetap tenang dan santun dalam menyatakan pendapat-pendapatnya di hadapan pemerintah.

Bagi politisi yang bersama Amien Rais mendirikan PAN pada tahun 1998 itu, jika berani memegang teguh prinsip yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar, maka pemerintah Indonesia justru akan diperhitungkan dalam arena politik global dan tidak dipandang remeh oleh negara mana pun. Namun sayangnya, Abdillah tidak melihat karakter tersebut ada pada pemerintahan sekarang.

“Pemerintah selalu dibayangi ketakutan yang tidak perlu,” kata pria bertubuh tegap dan berkaca mata ini tentang keragu-raguan pemerintah untuk meninjau ulang kontrak-kontrak pertambangan dengan perusahaan-perusahaan asing. Padahal, menurutnya, perusahaan-perusahaan asing itu tidak akan lari meski hanya mendapatkan bagian yang lebih sedikit, sebagaimana sudah terjadi di negara-negara lain seperti Venezuela dan Bolivia. Sebaliknya, pemerintah justru bisa mendapatkan uang yang banyak sehingga dapat menyejahterakan rakyat sendiri.

Anggota Majelis Pensehat Partai (MPP) PAN ini juga mendesak pemerintah untuk berani meminta penangguhan pembayaran utang luar negeri demi membiayai kesehatan dan pendidikan masyarakat. “Bayangkan jika 200 trilyun yang setiap tahunnya dibayarkan pemerintah sebagai cicilan utang bisa digunakan untuk rakyat, maka ratusan ribu sekolah dan puluhan ribu rumah sakit bisa kita bangun,” tambahnya. Apalagi menurutnya, utang-utang itu diperoleh melalui jalan yang tidak halal.

Sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Abdillah merupakan orang Indonesia pertama yang mampu duduk di Komite Eksekutif Organisasi Parlemen Se-Dunia (IPU). Di tangan politisi senior yang bertugas di Komisi I (bidang luar negeri, pertahanan, dan intelijen) ini, parlemen Indonesia semakin diperhitungkan di tengah arena politik internasional. Berkat keuletan “diplomasi parlemen” yang dijalankannya, pada Sidang IPU ke-16 tahun 2005, delegasi Indonesia yang dipimpinnya berhasil memasukkan agenda tambahan yang menghasilkan keputusan untuk mendesak penarikan mundur pasukan AS dari Irak. Padahal, “keputusan ini ditentang negara-negara Eropa,” kisah Abdillah.

Di tengah masyarakat, sosok dengan prinsip yang sangat teguh ini juga dikenal sebagai salah satu pendiri Yayasan Imdad Mustadhaffin (Yasmin), sebuah lembaga sosial masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan dengan sekolah gratis bagi anak-anak tidak mampu dan di bidang kesehatan dengan klinik bersalin gratisnya.

Di bidang lain, dunia perbukuan menjadi perhatian utamannya. Kelompok Penerbit Mizan yang didirikan dan dipimpinnya kini menjadi salah satu penerbit papan atas di Indonesia. Baru-baru ini, Mizan berhasil mencatatkan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang diterbitkannya sebagai buku terlaris sepanjang sejarah Indonesia.

Abdillah Toha menamatkan studinya di University of Western Australia dengan predikat terbaik, meraih J.A. Wood Memorial Prize untuk prestasi akademisnya, dan mendapatkan Distinguished Alumni Award dari pemerintah Australia. Menikah dengan Ning Salma, pria yang produktif menulis di berbagai suratkabar nasional ini dikarunia tiga anak; Reza, Karima, dan Nadia.

Kini ia merasa misinya belum selesai. Karena itu mantan Ketua Fraksi PAN di DPR initidak menolak saat partainya memintanya mencalonkan lagi sebagai calon anggota DPR RI (nomer urut 2) untuk wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Neger. Selamat berjuang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar