Rabu, 11 Maret 2009

Melacak Penyebab Pemutusan Hubungan Diplomatik Maroko atas Iran

Departemen Luar Negeri Kerajaan Maroko pada hari Jumat (6/3) tanpa diduga terlebih dahulu mengambil sikap sepihak memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Republik Islam Iran. Unsur “tak terduga” di balik sikap negara ini patut dicermati. Karena Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Mottaki semalam (8/3) dalam wawancara dengan televisi Kanal Berita Iran (IRINN) mengatakan bahwa beberapa waktu lalu Ketua Parlemen Maroko mendatangi Kedutaan Besar Iran di sana dengan tujuan ingin melawat Iran. Menurutnya, selama ini hubungan Tehran-Rabat juga baik dan tidak punya masalah.

Sementara itu, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dalam sidang kabinetnya Ahad malam ((8/3) menyatakan keheranannya atas sikap Maroko. Karena menurutnya selama kunjungannya ke berbagai negara di kawasan, ia selalu menjulurkan tangan persahabatan. Ahmadinejad sedikit menganalisa sikap seperti ini dipengaruhi oleh pihak ketiga. Untuk itu ia menasehati negara-negara kawasan untuk bersikap waspada akan pihak ketiga ini, sambil meminta Departemen Luar Negeri Iran segera mengeluarkan pernyataan terkait sikap Maroko.

Menlu Iran dalam pernyataannya semalam menyebut belum mengetahui secara pasti alasan Maroko memutuskan hubungannya dengan Iran. Namun dalam keputusan ini ada sejumlah klaim yang transparan disebutkan untuk menjustifikasi sikap Maroko ini.

1. Upaya Tehran untuk menyebarkan Syiah di Maroko.

2. Kedutaan Besar Iran di Rabat berupaya menjadikan mazhab Syiah sebagai pengganti mazhab Ahli Sunnah di Maroko.

3. Asumsi ini membuat para pejabat Maroko menganggap Iran telah melakukan intervensi urusan dalam negeri Maroko yang tidak dapat diterima oleh Rabat.

4. Pemerintah Maroko menjadikan ketegangan Syiah dan Ahli Sunnah di Bahrain sebagai contoh hidup campur tangan Iran dalam urusan dalam negeri negara-negara Ahli Sunnah.

Iran sendiri membantah keras anggapan dan tuduhan tidak berdasar ini. Departemen Luar Negeri Iran mengeluarkan pernyataan yang isinya tidak pernah mencampuri urusan dalam negeri Maroko dan tidak akan melakukan itu.

Sekalipun secara tegas Tehran telah menyatakan sikapnya, namun ada beberapa hal yang patut dicermati dalam peristiwa ini. Namun harus diketahui bahwa bukan hanya media-media asing yang tidak memiliki informasi terperinci mengenai langkah tak diduga Maroko, tapi juga media-media dalam negeri Maroko. Tidak ada analisa detil mengenai dampak dari sikap yang dilakukan Maroko. Namun ada tiga analisa yang sempat mencuat mengenai langkah Maroko ini.

Analisa pertama, langkah Maroko ini hanya merupakan ketegangan sementara antara Iran dan Maroko yang kembali pada masalah Raja Maroko menerima Syah Pahlevi setelah ia melarikan diri dari Iran. Sementara itu Maroko juga menuduh Iran mendukung Front Polisario dalam krisis Gurun Barat.

Kedua, kemungkinan langkah yang ditempuh Maroko ini merupakan masalah pribadi dan hubungan erat antara Raja Mohammed VI dan Amir Bahrain Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani. Informasi yang ada menyebutkan bahwa Raja Maroko selalu mengambil langkah-langkah diplomasi mewakili Amir Bahrain. Buktinya, setelah Menteri Luar Negeri Bahrain melawat Iran untuk menurunkan tingkat ketegangan Tehran-Manama dan kembali ke Manama, Raja Maroko langsung bersikap memutuskan hubungan dengan Tehran. Perlu dicermati bahwa pernyataan Menlu Bahrain bila dikaji lebih dalam menyinggung bahwa krisis terbaru yang terjadi di Bahrain sejatinya krisis antara Syiah dan Ahli Sunnah.

Ketiga, analisa ini hakikatnya pernyataan Pakar Strategi Amerika dan urusan Timur Tengah Anthony Cordesman saat diwawancarai lewat telepon oleh wartawan Associated Press mengenai pemutusan hubungan diplomatik Maroko dengan Iran. Cordesman meyakini bahwa keputusan Maroko memutuskan hubungannya dengan Iran harus dilihat dalam bingkai negara-negara yang dikategorikan oleh Amerika dengan sebutan “negara-negara Arab moderat”. Menurut keyakinannya, langkah yang diambil Maroko menunjukkan bahwa sejumlah negara-negara Arab moderat mulai merapatkan barisannya dengan pemerintahan Obama dan kemungkinan besar ke depannya mereka akan mengambil sikap lebih keras. Cordesman menyebut front negara-negara Arab moderat ingin menyampaikan pesan kepada Tehran yang telah dimulai oleh Maroko. Ditambahkannya, “Sekalipun kerugian Tehran tidak berarti apa-apa dengan keputusan Maroko ini, namun bila Iran tidak menerima pesan ini, kemungkinan besar negara-negara lain akan mengambil langkah serupa yang akibatnya tentu lebih besar.”

Meskipun minimnya informasi mengenai sikap Maroko dalam memutuskan hubungannya dengan Iran, namun tiga analisa sebelumnya tetap berada dalam satu koridor bahwa langkah Rabat ini masih terkait hubungan Kerajaan Maroko dengan Amerika dan Rezim Zionis Israel. Keduanya selalu berusaha menciptakan masalah dalam hubungan Republik Islam Iran dengan negara-negara Arab dan Afrika. Beberapa tahun terakhir dengan adanya minoritas Yahudi di negara Maroko, Rezim Zionis memanfaatkan mereka untuk merealisasikan kepentingannya dan Amerika.

Berdasarkan analisa yang paling realistis terkait alasan sikap Maroko dalam memutuskan hubungannya dengan Iran, langkah ini harus ditafsirkan masih satu paket dengan Konferensi Annapolis. Amerika dan Rezim Zionis Israel dalam konferensi tersebut tengah mencitrakan “Iran Phobia” di tubuh persatuan masyarakat Islam, khususnya kawasan Timur Tengah Arab dan Afrika sebagai ganti ancaman Israel. Manuver Hakim Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Louis Okambo terhadap Omar Al-Bashir, Presiden Sudan juga dapat dianalisa dalam bingkai ini. Padahal pemerintah Sudan dalam pertemuan Doha, Qatar sepakat dengan pihak-pihak yang berseteru di Barat negara ini.

Tiba-tiba semua kesepakatan itu lenyap setelah Okambo dalam keputusan yang tidak diduga mengeluarkan hukum penahanan Omar Al-Bashir. Dengan demikian, segala tekanan internasional terhadap Rezim Zionis Israel dan sekutu Arab dan Baratnya untuk mengadili para pemimpin politik dan militer rezim ini semakin berkurang. Untuk memahami hal ini cukup dengan menganalisa komplesknya hubungan Qatar-Mesir, Qatar-Arab, Israel-Qatar dalam aksi cemerlang Doha dalam tiga dokumen penting Lebanon, Jalur Gaza dan Sudan serta kekhawatiran Arab Saudi, Mesir, Yordania dengan citra Qatar yang semakin mengkilap.

Namun tampaknya pernyataan Menlu Iran Manouchehr Mottaki lebih arif dalam menyikapi masalah ini yang mengaitkan masalah ini dengan posisi Iran di pentas politik internasional. Menurut Mottaki, aksi-aksi seperti ini ditujukan untuk memalingkan Iran dalam politik internasionalnya setelah selama ini berhasil menghadapi politik luar negeri Amerika secara berhadap-hadapan. Dengan demikian peran dapat dikecilkan dengan hanya mengurusi kenakalan negara-negara Arab dan Afrika, dan bukannya fokus terhadap politik unilaterisme dan arogansi Amerika dan jangan lupa kejahatan Rezim Zionis Israel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar