Selasa, 03 Maret 2009

Nasser dan Asad di Tubir Nakbah


Prahara yang Berbalut Ironi

Orang Arab menyebut berdirinya Israel tahun 1948 sebagai prahara besar: nakbah. Tak kurang dari 700 ribu orang terusir dari rumahnya, ribuan anak dan perempuan meregang nyawa, dan jutaan lain kehilangan jati diri dan masa depan. Sejumlah perang besar dan kecil dengan ribuan korban pecah sebagai dampaknya. Hingga kini, Nakbah telah merusak harta, tanah, harga diri dan kebebasan mayoritas bangsa Palestina.

Gamal Abdul Nasser dan Hafez Asad berdiri di antara ratusan juta orang Arab untuk mengajukan jawaban. Seperti ratusan juta orang Arab lain itu pula, Nasser dan Asad sama-sama ingin keluar dari rimba konflik itu dengan selamat, tapi keduanya menawarkan peta dan pilihan strategis yang berbeda.

Perbedaan itu mungkin karena ambiguitas Nakbah sebagai tragedi yang bercampur ironi. Di sana terjadi penjajahan yang dipersiapkan oleh negara-negara Barat dan diresmikan oleh PBB yang konon bertujuan mewadahi mengukuhkan kedaulatan. Di sana tanah dirampas dengan “janji Tuhan” dan dipakai sebagai kompenasasi korban holocaust yang terjadi nun jauh di benua lain.

Ambiguitas Nakbah juga timbul dari posisinya sebagai kakus ukuran jumbo buat rezim-rezim otoriter Arab. Di dalam kakus itulah para penguasa ini membuang tumpukan kekejaman dan kegagalan mereka. Israel, di sisi lain, memanfaatkan posisi kotor itu untuk menampilkan dirinya sebagai pasukan sakti yang tak terkalahkan. Bila karena satu dan lain alasan Israel terusik, maka kekacauan besar bakal meluruhkan rezim-rezim pecundang ini lantaran mereka tak lagi punya tempat pembuangan.

Mosaik Nakbah

Menghadapi kerumitan itu, khalayak Arab terpecah belah. Rakyat Palestina sendiri tak berdaya dan hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang. Mereka yang tinggal di kawasan Teluk yang kaya minyak terlalu sibuk memanjakan diri dalam foya-foya. Untuk menghilangkan rasa berdosa, sesekali mereka mengucurkan uang recehan kepada Palestina. Itupun dengan seabrek syarat yang memberatkan.

Di Mesir, Suriah, Lebanon dan Yordania yang berbatasan dengan Israel, keadaan berbeda. Bangsa-bangsa ini sangat peduli, bahkan siap berjuang melawan. Sayangnya, mereka tak punya kepemimpinan. Akibatnya, sebagian mereka menyalurkan perlawanan dengan meregang urat syarat dan meneteskan airmata, sebagian lain duduk di perpustakaan dan mengembangkan bakat sastra dan puisi, sebagian lain merangkai bunga rampai otokritik budaya, sebagian lain mengalihkan persoalan dengan menumbuhkan bakat genetik Arab untuk saling bertikai, dan sebagainya.

Namun, di antara semua itu, tak sedikit pula kelompok yang berpikir dan mengamati. Di antara yang mengamati itu, ada yang merasa sudah berjuang turun ke jalan dan meneriakkan yel-yel, orasi dan narasi-narasi besar, dan ada yang siap berjuang dengan visi dan strategi organisasi yang kuat.

Di kelompok terakhir inilah Nasser dan Asad berada: Nasser sebagai orator dan pendobrak; sedangkan Asad sebagai operator dan organisator. Nasser menawarkan perlawanan dengan ketokohan dan gebyar pesona pribadi, sementara Asad yang sepenuhnya menyadari berbagai kelemahan pribadinya menawarkan perlawanan yang terorganisasi.

Hafez Asad memperoleh momentum terbesar tahun 1979, setahun setelah perjanjian Camp David. Di tengah kebingungan dan kecemasan Arab menghadapi revolusi Iran, Asad justru menangkap titik terang bagi perjuangannya. Terutama setelah Ruhullah Khomeini, pemimpin revolusi itu, dengan blak-blakan mencemooh kepengecutan Arab. Katanya, “Sekiranya tiap orang Arab menumpahkan satu ember air ke Israel, maka entitas zionis itu pasti hanyut tersapu arus.” Sejak itu, Asad menemukan sekutu dalam organisasi perlawanan, bukan orang yang sekadar mengandalkan wibawa dan pesona pribadi.

Nasser dan Politik Abrakadraba

Gamal Abdul Nasser jelas bukan orang yang punya niat busuk. Dia mungkin punya justru segudang niat baik. Tapi dia tak tahu bagaimana mewujudkannya, karena dia tak terbiasa melihat rincian dan mengorganisasinya menjadi satu kesatuan. Pada medio 1958, bersama sejumlah kadernya, termasuk si Brutus Anwar Sadat, Nasser mengusung Pan Arab. Dia bertekad membangkitkan bangsa yang sedang trauma dengan daya pikat Arjuna dan pelet putri duyung.

Tapi kelebihan Nasser itu juga menjadi beban terbesarnya. Misalnya, secara gegabah Nasser memaksakan agenda Republik Arab Bersatu (RAB) di bawah kepemimpinannya. Sialnya, bukannya bersatu, masyarakat Arab justru makin terkoyak lantaran agenda itu. Buat orang Arab sampai sekarang ini, RAB itu sama anehnya dengan karedok buat orang Eskimo.

Nasser rupanya lupa akan kerumitan bangsanya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, tak jarang dia mengurai kerumitan itu dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya, termasuk Hafez Asad. Di tengah disintegrasi RAB tahun 1961, Nasser sempat memenjarankan Asad yang kala itu menjadi staf kedubes Suriah di Mesir karena dianggap berkomplot melawannya.

Mekanika Asad

Berbeda dengan Nasser, Hafez Asad adalah mesin, jarum jam yang terus berputar, perwira tanpa beban, dingin dan merakyat. Suaranya pelan, hampir-hampir tak terdengar; matanya sayup, seperti orang kurang gizi. Asad lebih suka menyelinap ketimbang berkoar-koar di podium. Dia tak ingin sekadar mengobarkan semangat dan mendebarkan jantung kerumunan; dia ingin mengoperasikan mesin pergerakan yang teratur dan ajek.

Untuk tujuan itu, Asad mengandalkan kekuatannya pada organisasi. Dia mulai bekerja dengan membuat organisasi yang mampu menggaruk bagian punggung rakyatnya yang paling gatal. Pilihan-pilihannya dia bangun dengan semangat kebersamaan, karena dia sadar sepenuhnya bahwa dia tak memiliki pesona seperti Nasser.

Tapi justru itulah keunggulan Asad dibanding Nasser. Manakala disintegrasi RAB menimbulkan instabilitas politik di Suriah, Asad justru mampu merebut kekuasaan. Dalihnya, Ahmad Khatib—presiden Suriah kala itu—terlalu pro Nasser dan membahayakan integritas Suriah. Tapi, Asad bukan politisi modal nekat. Dia memanfaatkan energi Nasser yang meluap-luap itu untuk kembali membangun kebersamaan Arab untuk menghadapi Israel.

Ketika Nasser mempersiapkan perang besar melawan Israel tahun 1967 yang kemudian dikenal dengan Perang Enam Hari, Asad tanpa ragu mengerahkan dukungan penuh pada Nasser. Namun sayangnya Nasser tak mau mendengar saran-saran Asad, dan mendahului perang tanpa persiapan matang. Kekalahan memalukan pun terjadi.

Asad menganggap kekalahan pasukan Arab pada 1967 lebih karena kegagalan Nasser dalam mempersiapkan strategi militer dan lemahnya jaringan intelijen. Asad menuding perintah Menhan Mesir, Abdul Hakim Amer, untuk menarik mundur pasukan dari medan pertempuran sebagai titik balik bagi kekalahan pasukan Arab. Terbukti, pada proses penarikan mundur itulah puluhan ribu prajurit Arab gugur sia-sia tanpa melawan. Dan sejak itu, perseteruan antara Suriah dan Mesir memasuki babak yang lebih genting.

Kekalahan Arab pada Perang Enam Hari lebih traumatik bagi Arab ketimbang Nakbah. Jutaan orang Arab hanya ingat tiga kata: naksah, naksah, naksah (kekalahan). Sejak hari itu, mereka menganggap Israel sebagai fait accompli yang tak mungkin lagi mereka ubah; sebuah takdir dan mungkin kutukan yang tak bisa mereka elakkan.

Pasca Camp David

Hubungan Suriah-Mesir makin tegang ketika Anwar Sadat mengganti Nasser yang wafat tahun 1970. Asad menolak keras upaya Sadat bernegosiasi secara langsung dengan Israel demi mengambil kembali Sinai. Dan ketika Sadat akhirnya nekat meneken perjanjian Camp David tahun 1978, Asad sadar bahwa Mesir melangkah terlalu jauh.

Perjanjian Camp David memperteguh keyakinan Hafez Asad akan kekeliruan strategi pimpinan Mesir secara umum. Baginya, keputusan Sadat untuk meneken penjanjian itu sama saja dengan membunyikan lonceng kematian bagi perjuangan bangsa Palestina, sekaligus mengesahkan penjajahan Israel atas tanah Palestina, Dataran Tinggi Golan dan Lebanon Selatan.

Menghadapi situasi yang menyudutkan posisi Suriah, Lebanon dan Palestina itu, Asad tak langsung bereaksi. Dia tidak genit dengan mengumbar ancaman. Asad memilih untuk berayun, melompat dan mengendap seperti tupai menunggu makanan.

Tahun 1979 Asad menemukan momentum. Dia langsung merapat dan mendukung revolusi Islam Iran dan menyeru seluruh kelompok perlawanan Palestina dan Lebanon untuk menjalin aliansi strategis dengan Iran. Dan ketika rezim Iran mulai serius mempersenjatai kelompok perlawanan Syiah di Lebanon Selatan, Asad membantu penyalurannya dengan sepenuh hati.

Kini, puluhan tahun setelah itu, Suriah justru menjadi pihak yang paling banyak memegang kartu di kawasan Timur Tengah. Di tingkat regional, tak ada negara mana pun yang bisa menyisihkan Suriah dari ekuasi. Damaskus adalah juru kunci sekaligus pintu gerbang untuk berhubungan dengan Iran dan kelompok-kelompok perlawanan di Lebanon, Palestina, Yordania dan Irak.

Di dalam negeri, karena pilihan-pilihan strategis ayahnya, Basyar Asad mendapatkan dukungan populer yang luas. Satu-satunya kelompok oposisi, Ikhwanul Muslimin, sejak beberapa tahun lampau membekukan semua oposisinya terhadap pemerintah Damaskus demi memperkuat basis perlawanan terhadap Israel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar