Selasa, 03 Maret 2009

Warga Israel "Memilih" Hamas

Pada pemilu ke 18 untuk Knesset, orang Israel juga telah ikut memperhitungkan masa depan kepemimpinan Palestina. Skenario Mahmud Abbas dengan program politiknya akan tetap bertahan sehingga dapat berjalan seiring dengan pemerintahan Benyamin Netanyahu, persis seperti Yasser Arafat pada tahun 1996, hal ini sangat tidak diharapkan. Proses diplomasi akan hilang karena semua yang terjadi tidak lebih dari pada ketetapan satu arah dari Israel, yang akibatnya diprediksikan akan menguatnya Hamas dihadapan masyarakat dunia secara umum dan juga Arab secara khusus terutama Palestina sendiri. lebih fatal lagi hal ini akan menuntun Fatah keluar dari arena politik, yang sama maknanya, mengantikannya dengan Hamas.
Sebagaimana Arafat telah dipaksa untuk selalu mengikuti telunjuk Netanyahu, yang melihat "pemerintahan PLO" sebagai keberadaan yang bahaya dan diletakkan sejajar dengan sayap-kanan pemerintah (Israel). Sehingga tekanan Amerika, perang sementara anti teroris telah mendapatkan celaan kemudian membuat dukungan pada proses diplomasi dari penduduk mayoritas telah minim karena hasilnya yang minim - Kesepakatan Heberon, Memorandum Wye River- yang masih terus berproses saja. Pada sisi lain PLO tidak dapat memaksakan supriotitasnya kepada Hamas sekalipun Netanyahu telah membatalkan serangkaian negosiasi kesepakatan yang berstatus final, mengurangi daerah pemunduran Israel karena desakan kesepakatan interen, serta dapat melipat gandakan penduduk Israel di daerah pendudukkan.

Abbas yang dipertahankan posisinya selama perjalanan pemerintahan Olmert untuk menjaring dukungan pemerintahan moderat Arab dan beberapa komunitas internasional, juga bantuan Amerika, dan menjaga tetap hadirannya Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Tepi Barat. Pemerintahan Netanyahu akan menghadapi permasalahan yang sama sebagai apa yang dihadapi kubu Abbas: Israel tetap akan menolak setiap inisiatif kesepakatan yang datang dari Arab, absennya bundel dokumen untuk membangkitkan proses (kesepakatan) Anapolis; Hamas tetap mengkontrol Gaza dan lebih mendapat dukungan lebih setelah Opersi Cast Lead; memperkuatnya "kubu-Iran", menjadikan perekonomian pincang, dan jumlah penduduk -Palestina- tetap bertambah.

Kalau Netanyahu saja menangulangi tekanan Amerika, pengucilan Eropa dan negara negara Arab, dia akan mendapatkan "legacy" (warisan-pewaris) Ehud Olmert, Tipzi Lipni dan Ehud Barak. Kalau Avigdor Lieberman berhasil meminimisir Pengadilan Tinggi dalam masalah keamanan, Netanyahu tentu akan berhasil menyelesaikan bangunan dinding pengamanan sepanjang rute yang mengelilingi Tepi Barat. Dia akan memenuhi keinginan National Union untuk menguatkan pos terdepan semangat negosiasi kesepakatan Barak dengan settler (penduduk ditanah dudukan). Dia akan mendapakan tender bangunan pendudukan di sebelah barat dinding (ras diskriminasi), dan akan membungkam trioka pemimpin yang menyatakan bahwa rute dinding pembatas akan menjadi tapal batas dikemudian hari. Dia akan meredakan tensi di Tepi Barat sehingga akan menjadi dalih bagi Netanyahu untuk mempertahankan ratusan pos-pemerikasaan yang dapat mencekik ekonomi orang Palestina, dan hal ini akan membuat Barak menjadi bungkam.

Respon dari pemilu Israel adalah terjadinya percepatan pembicaraan antara Hamas dan Fatah, dengan dukungan Mesir, semuanya menuju kepada penciptaan hakikat Palestina untuk menanggulangi bersama keinginan Israel meninggalkan proses Anapolis dan harapan Lieberman mendongkel Hamas. Ini sama saja dengan mencabuli pembaharuan gencetan senjata, kalau sampai ada yang sampai. Kalau rekonsiliasi Palestina akan berbuah: Hamas akan mendeklarasikan tujuan pembentukan PLO baru dan bergabung dalam satu keberadaan, satu proses yang akan mendorong panggilan pengenalan kembali prinsip "muqawamah" (terus bertahan) dalam program PLO tersebut dan kondisi pembuatan kesepakatan seperti ini tentu akan membentuk penolakan Israel. \par
Ketidak hadiran proses diplomasi yang substantif akan menyingkirkan Fatah, 16 tahun setelah petemuan Oslo, sebagaimana diketahui bahwa strategi itu adalah satu kegagalan pemilihan opsi (pilihan) antara rute diplomasi atau meninggalkan "perjuangan-bersenjata". Jarak dari titik ini hingga menguasai PLO - yang diketahuai umum sebagai representatif formal tunggal rakyat Palestina - dengan agenda Hamas adalah sangat dekat.

Maka, ironis sekali, negosiator PLO yang menunggu Netanyahu dan Lieberman dengan pandangan yang diinginkan Hamas, ditengah tekanan internasional yang akan melatakkan Israel maju menuju ke satu solusi: dua negara untuk dua penduduk. Kalau saja ada orang yang akan menerima bahwa tidak ada diantara mereka yang ingin mendiskusikan alternatif adanya satu negara diantara sungai Yordania dan laut karena negara tersebut, dimana mayoritas penduduknya adalah orang Palestina, hukum kependudukan Lieberman akan kembali memukul Israel kembali seperti bumerang.

Dengan logika ini sebenarnya orang Israel telah mengangkat Hamas, lebih tepat dapat dikatakan bahwa rejim Zionis tidak akankelaur dari pada perputaran (sirkulasi) kesalahan dan benturan yang dilakukannya sendiri, sehingga konsekwensinya adalah akan menangkat sisi lain yang yang menjadi musuhnya. Selamanya begitulah hukum alam, setiap kesalahan akan bertindak dengan nilai kebodohan, kesalahan itulah adalah kebodohan. Penjajahan yang dilakukan oleh Zionis adalah tindakan bodoh yang dilakukan manusia yang merasa dirinya paling pandai. Inilah kebodohan kedua. Kebodohan ganda.

Ketika rejim berusaha hendak menghancurkan musuh musuhnya - Hizbullah ataupun Hamas - maka rejim ini harus menghadapi akaibat dari kebodohannya sendiri. Semustinya rejim ini sudah belajar dari sekian banyak pertemuan, memorandum dan kesepakatan yang hasilnya nihil. Kalau saja rejim ini masih berfikir untuk memaksakan kehendakknya pada masyarakat yang telah diambil haknya maka hasilnya tetap juga nihil. Begitu juga kalau masih berharap untuk mendapatkan ketenagan dengan memaksakan kehendak dengan melakukan terror dan pembunuhan, maka hasilnya juga akan sebaliknya. Akan salah kalau berfikir untuk mengatakan bahwa rejim Zionis akan berhasil mengusai dengan tenang daerah antara sungai Yordan dan laut Meditarian. Tak akan. gejolak akan terus berjalan sejalan dengan kebodohan yang dilakukan orang yang merasa pandai.

Inilah kekhawatiran yang terus menghantui pemerintahan demi pemerintahan di daerah penjajahan itu. Rejim Zionis tidak pernah berhenti bergejolak, intern ataupun regional. Semustinya dari perjalanan waktu ini, semua sudah sampai pada kesimpulan bahwa rejim zionis adalah sumber masalah dan petaka, rejim Zionis inilah keberadaan petaka dan menjadi suber petaka bagi yang lain. Untuk menyeesaikannya maka suber petaka itu -rejim Zionis- harus dihapuskan dari keberadaan. Cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Pasti!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar