Berbicara tentang Lembaga Amar Makruf dan Nahi Mungkar atau polisi syariat Arab Saudi berarti membahas sebuah kelompok paling berpengaruh dalam proses politik dan agama Arab Saudi. Kini lembaga ini dikuasai oleh orang-orang wahhabi ekstrim. Mayoritas masyarakat Arab Saudi, khususnya kalangan pemuda yang prosentasenya mencapai ¾ populasi negara ini menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kinerja lembaga ini.
Sekitar dua pekan lalu Raja Abdullah melakukan pembaruan yang oleh sebagian disebut sebagai pembaruan berani karena mengganti sejumlah menteri dan posisi-posisi penting negara ini. Raja Abdullah menggantikan Kepala Dewan Mahkamah Agung, Sheikh Saleh al-Luhaidan, yang selama ini dituding menghalangi upaya reformasi dengan Saleh bin Humaid. Sheikh Luhaidan telah menduduki pos ini selama lebih dari 40 tahun. Selama ini Luhaidan amat terkenal karena beberapa kebijakan ”tegas” yang berpijak pada ajaran konservatif.
Ia juga mengganti kepala polisi syariat yang dikenal dengan nama Muttawa, Sheikh Ibrahim Al-Ghaith, yang telah memimpin kampanye agresif di media massa bagi pelaksanaan keras ajaran Wahhabi dan menantang tokoh lain yang lebih liberal dalam pemerintah. Sheikh Ibrahim Al-Ghaith diganti dengan Abdul Aziz bin Huamin yang lebih moderat.
Tentu saja penunjukkan Abdul Aziz bin Huamin yang lebih moderat tidak menyenangkan kelompok wahhabi garis keras yang selama ini legitimasinya didapat dari lembaga ini. Mencermati kondisi yang semacam ini, mereka berusaha untuk memaksakan pengaruh mereka ke tingkat menengah dan bawah organisasi polisi syariat dan tidak memberikan kesempatan Abdul Aziz bin Huamin mengubah kebijakan gais keras mereka selama ini.
Peristiwa Madinah dan serangan anggota lembaga Amar Makruf dan Nahi Mungkar terhadap orang-orang Syiah Arab Saudi sejatinya bagian dari skenario mereka menghadapi pembaruan yang dilakukan Raja Abdullah. Artinya, peristiwa Madinah sebenarnya aksi para wahhabi ekstrim untuk menunjukkan kekuatannya dan menyatakan bahwa “Kami sampai saat ini akan melakukan apa saja yang kami inginkan.”
Proyek peristiwa Madinah kemudian hendak diarahkan sebagai skenario ancaman keamanan terhadap Arab Saudi oleh orang-orang Syiah negara ini. Mereka berupaya keras memperkenalkan orang-orang Syiah Arab Saudi yang populasinya 15 persen dari seluruh warga Arab Saudi sebagai kaki tangan Iran. Oleh karenanya skenario Madinah dilaksanakan dengan tujuan tersebut.
Wahhabi ekstrim geram dan memfokuskan isu ini setelah tahun lalu pemerintah Arab Saudi mengurangi pengetatan aktivitas orang-orang Syiah, bahkan mengizinkan mereka memegang berbagai posisi rendah di pemerintahan. Sekalipun masalah ini hanya baru sampai pada tahapan isu, tapi telah membangkitkan kemarahan kelompok wahhabi ekstrim. Namun wacana seperti ini di Arab Saudi sendiri sudah merupakan kemajuan dalam struktur kaku pemerintahan Riyadh.
Kejadian serangan di Madinah pada awalnya murni dilakukan oleh anggota polisi syariat Arab Saudi dan bukan oleh petugas pemerintah, namun dikarenakan struktur lembaga ini di bawah pemerintah Arab Saudi dan ketuanya ditunjuk langsung oleh Raja Arab Saudi, tidak membuat berkurang tanggung jawab pemerintah.
Pertanyaannya sekarang adalah reaksi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Republik Islam Iran?
Jelas, berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh para marji dan lembaga-lembaga agama tidak mewakili suara resmi Iran, namun harus dinilai sebagai bentuk dukungan dan solidaritas pengikut Syiah lainnya terhadap perlakuan tidak manusiawi terhadap pengikut Syiah lainnya. Namun pemerintah Iran harus mengambil sikap yang berbeda.
Nyatanya, kelompok wahhabi ekstrim berharap pemerintah Iran mengambil sikap yang sama yang ditunjukkan dalam peristiwa Gaza melakukan sejumlah manuver proaktif, bahkan bila perlu mempersenjatai orang-orang Syiah Arab Saudi. Dengan demikian asumsi bahwa orang-orang Syiah Arab Saudi adalah kaki tangan Iran menjadi terbukti. Dengan isu itu mereka berharap serangan terhadap sejumlah peziarah Syiah Arab Saudi di Madinah menjadi masalah keamanan nasional Arab Saudi.
Di Iran sendiri pun beberapa kelompok mencoba mengobarkan isu ini dan mendukung Syiah Arab Saudi. Namun pemerintah Iran ternyata mengambil sikap lebih logis dengan menyerahkan masalah ini kepada para marji Syiah dan media-media non pemerintah.
Strategi ini sangat positif bagi Syiah Arab Saudi sendiri. Karena berita terbaru menyebutkan dibebaskan para tahanan dalam peristiwa Madinah. Bila pemerintah langsung ikut terjun dalam isu ini untuk menunjukkan solidaritas Syiah-nya, dapat dipastikan mereka tidak akan dibebaskan secepatnya.
Harus dipercaya bahwa pembelaan buruk dengan menciptakan gonjang-ganjing politik, biasanya lebih menguntungkan pihak lawan, ketimbang pihak yang ingin didukung. Kebijakan Iran sangat tepat demi mengurangi tekanan terhadap Syiah Arab Saudi. Selain itu, menghubung-hubungkan masalah Madinah dengan Iran akan memberikan kesempatan kelompok wahhabi ekstrim untuk bermanuver atas upaya pembaruan yang dilakukan Raja Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar