Juru Bicara Departemen Luar Negeri Republik Islam Iran, Hassan Qashqavi mengatakan bahwa klaim yang dilontarkan Panglima Militer Amerika Serikat di Irak, Jenderal David Petraeus mengindikasikan pandangan diskriminatif pejabat AS terhadap isu terorisme. Sebelumnya, Jenderal Petraeus menuding Iran mendukung sejumlah kelompok ekstrim di Irak. Panglima AS ini menuding Iran tanpa didasari oleh bukti dan realita di lapangan. Jubir Deplu Iran menilai kebijakan unilateral dan militeristik AS sebagai penyebab utama kekacauan di Irak.
Klaim palsu itu dilontarkan saat serdadu AS dan Inggris gagal mewujudkan janji-janjinya terkait perang melawan terorisme. Oleh sebab itu, para pengamat berkeyakinan bahwa pernyataan miring Jenderal Petraeus sebagai akal-akalan untuk melepas tangan dari pendudukan di Irak. Sebenarnya terdapat kontradiksi antara klaim AS dan Inggris dengan kinerja dan kebijakan mereka soal terorisme.
Masyarakat internasional belum melupakan bahwa kelompok ekstrim dan teroris di Irak dan Afganistan merupakan unsur yang dibesarkan oleh AS dan Inggris. Kini, fenomena teroris telah berubah menjadi masalah yang sulit ditanggulangi. Dengan membagi unsur teroris menjadi kelompok jahat dan baik, AS dan Inggris telah membuka pintu perundingan dan dialog dengan sebagian kelompok teroris. Mereka juga menamakan kelompok itu dengan sebutan unsur yang bisa dijustifikasi.
Kedua pola pandang yang berbeda itu telah menyuburkan dan memperluas bahaya terorisme di kawasan. Oleh karena itu, standar ganda Barat terkait masalah teroris telah menjadi masalah mendasar dalam kasus ini. Jenderal Petraeus menuding Iran sebagai pendukung teroris saat negaranya secara terbuka melindungi Kelompok Teroris Munafikin (MKO) di Irak. Dukungan AS telah menjadikan Irak sebagai tempat bagi aktivitas kelompok teroris yang sudah dikenal secara luas. Guna menyelaraskan kebijakannya dengan Gedung Putih, Uni Eropa baru-baru ini juga menghapus nama kelompok MKO dari daftar teroris.
Kebijakan seperti itu mengindikasikan adanya upaya dari AS untuk memutarbalikkan realita. Di samping itu, Gedung Putih juga berupaya lari dari masalah yang melilit mereka di Irak. Padahal, masalah itu muncul sebagai akibat kebijakan intervensi mereka di kawasan. Jelas sekali, menjadikan orang lain sebagai kambing hitam sama sekali tidak akan membantu misi perang melawan teroris di kawasan. Sebab, selama AS tidak mengubah kebijakan unilateral dan militeristiknya, ada indikasi ingin tetap menjadikan kelompok ekstrim dan teroris sebagai alat untuk mendukung tujuan hegemoninya di kawasan.
Sebenarnya, penyuburan dan perluasan fenomena teroris sebagai akibat standar ganda yang diterapkan negara-negara Barat. Kebijakan unilateral dan militeristik juga telah mengancam keamanan di berbagai kawasan dan melahirkan persaingan persenjataan pada tingkat negara.
Jumat, 20 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar