Jumat, 20 Februari 2009

Obama Ulangi Kebijakan Bush

Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton dalam safarinya ke Asia, memuji pencapaian Korea Selatan pada demokrasi dan kemajuan serta menyebut Korea Utara sebagai negara yang masih diliputi kemiskinan dan kediktatoran. Pada saat yang sama, Menlu AS dalam konferensi pers di Seoul, hari Jumat, juga mengapresiasi sikap rakyat dan para pemimpin Korea Selatan karena memilih bersikap diam dalam mereaksi langkah-langkah provokatif Korea Utara. Dikatakannya pula, masalah Korea Utara menjadi faktor utama yang mempersatukan AS dan Korea Selatan. Lebih lanjut, Clinton menyebut tindakan Korea Utara sebagai problem maker di tinngkat politik luar negeri AS, regional dan dunia.
Dalam kesempatan tersebut, Hillary mengenalkan Steven Bosworth sebagai utusan khusus AS untuk Korea Utara. Clinton seraya membela penunjukkan diplomat berpengalaman Boswort yang ditugaskan untuk urusan Korea Utara, mengatakan, "Kami membutuhkan seorang yang berpengalaman untuk menghadapi Korea Utara, sehingga keberhasilan nuklir, perluasan teknologi sensitif militer dan problema hak asasi manusia di negeri ini dapat dicegah."

Para pengamat politik berpendapat bahwa Clinton dalam konferensi pers di Seoul mengomentari Korea Utara dengan menggunakan retorika lama yang sebelumnya diterapkan Mantan Presiden George W Bush. Padahal retorika radikal seperti itu sama sekali tak pernah membantu menyelesaikan krisis di Semenanjung Korea, tapi malah memperkeruh suasana. Ternyata, kebijakan lama Bush juga diterapkan pemerintah baru AS di bawah komando Presiden Barack Obama. Bahkan menurut para pengamat, retorika intimidatif yang digunakan Bush sebelumnya dalam menyikapi masalah Korea Utara malah mendorong Pyongyang mencapai senjata nuklir dan memperkeruh konflik antara Korea Utara dan negara-negara di kawasan. Dengan demikian, retorika lama yang kembali dilakukan Hillary dalam menyikapi Korea Utara mengulangi kekeliruan Bush, bahkah memperkeruh bahaya perang di kawasan ini.

Menyaksikan fenomena tersebut, para analis menyatakan bahwa Obama tetap menerapkan kebijakan lama Washington. Dengan demikian, ia inkonsisten dengan janjinya yang akan mengesampingkan politik perang. Sikap intimidatif kembali diterapkan pemerintah baru AS dalam mereaksi Korea Utara. Tentunya, kebijakan semacam ini malah akan mendorong Pyongyang untuk memperkuat dan mempersenjatai diri dalam rangka menghadapi kemungkinan ancaman Korea Utara.

Penekanan Pyongyang untuk menguji roket berjelajah jarak terjauh di negara ini, Taepodong 2, dan pernyataan militer Korea Utara untuk menghadapi Korea Selatan, mencerminkan sikap protes negara ini atas pelaksanaan manuver baru antara AS dan Korea Selatan. Dengan demikian, tekanan dan intimidasi terhadap Korea Utara malah menjadi bumerang dan kontraproduktif bagi kebijakan politik luar negeri AS.

Para analis dalam analisa lainnya berpendapat, pernyataan radikal Menteri Luar Negeri AS mempunyai tendensi propadanda yang bertujuan memperkokoh posisi Presiden Korea Selatan, Lee Myung Bak. Namun kebijakan Lee yang berkiblat pada Washington malah justru dinilai memperkeruh kondisi di kawasan.

Sementara itu, berlanjutnya konflik antara Korea Utara-Korea Selatan dan krisis di negara ini yang merupakan dampak dari krisis keuangan di AS, terus menuai kritikan dan protes dari dalam negeri Korea Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar