Kamis, 12 Februari 2009

Formasi Media di Perang Gaza; Kilas Balik Kebangkitan Kedua Media Muqawama

Rezim Zionis Israel sejak awal pembentukannya bertumpu pada dua pondasi; militeristik dan media. Israel lebih sering mamanfaatkan media untuk menampakkan bahkan memitoskan kemampuan militernya.

Strategi Israel di bidang militer dengan mengekspansi negara lain. Penyerbuan ke negara-negara Arab, mengancam seluruh bangsa di kawasan dan melaksanakan politik pendudukan merupakan kinerja rezim ini selama 60 tahun. Pendudukan daerah Palestina tahun 1948, perluasan pendudukan setelah perang 6 hari tahun 1967 yang berujung pada pendudukan sebagian daerah Mesir, Surian dan Yordan dan perang tahun 80-an demi menduduki Lebanon adalah contoh ide ekspansi rezim ini.


Mewujudkan jaringan media yang luas dan punya pengaruh dalam propaganda internasional memberikan kesempatan kepada rezim ini untuk menggambarkan apa saja yang diinginkannya kepada opini umum.

Proses bersejarah perang media menunjukkan urgennya senjata propaganda ini bagi Rezim Zionis Israel dalam mengontrol pemikiran, bahkan mencuci otak masyarakat internasional. Dalam kongres Zionis pada tahun 1897 yang dilakukan di Swiss, mereka memutuskan mengenai penguasaan media secara luas. Dalam protokol ini disebutkan, “Kita akan berhasil mendirikan negara Israel bila menguasai media internasional.” Dengan kata lain, pemanfaatan yang dibarengi dengan hardware dan software dalam militeristik dan propaganda sedemikian terkristal dalam strategi Israel.

Muqawama Islam selama tiga dekade lalu dengan menapaktilasi pesan revolusi Islam Iran menyatakan keberadaannya. Dengan penguasaan yang baik mengenai kekuatan musuh mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh di dua front. Penguatan bangunan pertahanan dan menarik medan perang ke dalam bunker-bunker Israel serta memanfaatkan secara cerdas kekuatan media demi mempengaruhi benak para penduduk yang tinggal di Palestina pendudukan dan opini umum masyarakat internasional merupakan strategi yang juga dilakukan oleh muqawama Islam.

Strategi muqawama Islam di dasawarsa terakhir abad ke-20 dan penyempurnaannya dalam perang 33 hari di musim panas tahun 2006 terbukti berhasil. Pembentukan Radio An-Nour dan televisi Al-Manar dalam bingkai “Perang Media” bukan hanya berada di bawah senjata Hizbullah, tapi dalam banyak kesempatan lebih efektif.

Muqawama Islam Palestina tidak ingin ketinggalan dalam perang media ini. Dengan menjadikan muqawama Islam Lebanon, sejak tiga tahun lalu mengambil langkah mendirikan televisi Al-Aqsa dan Al-Quds yang kinerjanya dapat disaksikan dalam perang 22 hari Gaza.

Rezim Zionis Israel dalam perang 22 hari memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mendukung rezim ini di bidang hardware dan software. Penyerahan senjata-senjata pemusnah massal paling modern oleh Amerika, mobilisasi diplomasi Barat dan dukungan mutlak media internasional dengan Israel dapat dikatakan sebagai formasi sempurna Barat menghadapi muqawama.

Formasi media di masa perang 22 hari Gaza dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, muqawama yang mencakup Al-Aqsa, Al-Quds, Al-Manar dan media-media Republik Islam Iran seperti Al-Alam dan Press TV. Kelompok kedua adalah berbagai media yang berafiliasi dengan sistem hegemoni internasional. Televisi Qatar Aljazeera mulai mendekatkan dirinya pada front muqawama pada pekan kedua turut memobilisasi opini umum dengan memfokuskan masalah kemanusiaan yang terjadi dalam perang Gaza.

Dalam perang media ini, front media Barat berusaha keras untuk menghalang-halangi opini umum untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Harapan mereka adalah masyarakat internasional tidak mengetahui hakikat tragedi yang menimpa rakyat tak berdosa di Gaza. Oleh karenanya, mereka mengambil langkah dengan memboikot berita Gaza di pekan pertama perang. Media-media alat hegemoni Barat secara terang-terangan memihak Israel dalam proses penyerbuan brutal Israel terhadap rakyat Gaza.

Sementara itu Rezim Zionis Israel tidak hanya melakukan seperti yang diamanatkan Komisi Winograd di bidang militer, tapi juga berusaha keras melakukan kontrol ketat informasi yang menjadi titik lemah mereka dalam perang 33 hari di Lebanon.

Mengikuti usulan Komisi Winograd di bidang militer, Rezim Zionis Israel menyingkirkan Amir Peretz, Menteri Peperangan yang memalukan karena memakai teropong tertutup untuk mengawasi medan perang dan digantikan oleh Ehud Barak yang menjadi otak militer Ariel Sharon. Di sisi lain, Gabi Ashkenazi dipilih menggantikan Dan Halutz sebagai Panglima Staf Gabungan Militer Israel. Ashkenazi yang dipandang oleh orang-orang zionis sebagai jenderal tangguh.

Sementara di bidang media, Rezim Zionis Israel mengambil langkah-langkah melarang masuknya wartawan ke Gaza, kontrol ketat pengambilan gambar di Palestina pendudukan dan merahasiakan jumlah korban tentara Israel merupakan upaya untuk mengamalkan amanat Komisi Winograd.

Media-media Barat dalam perang 22 hari Gaza tidak memiliki laporan mengenai medan Gaza. Mereka menyensor pembantaian anak-anak dan wanita, khususnya pada pekan pertama perang. Mereka cukup menayangkan rekasi opini masyarakat internasional dengan kaset yang disebut-sebut berisikan suara Usama bin Laden. Mereka juga menayangkan tayangan tidak jelas akan asap yang mengepul di atas Gaza, aktifitas makan dan minum sehari-hari tentara Israel di sisi tank-tank dan gerakan tenang kendaraan-kendaraan militer di tepian tanah yang menghijau dan di bawah langit biru. Semua ini adalah medan peperangan sebenarnya yang mampu ditayangkan oleh media Barat. Artinya, media Barat telah mengucapkan selamat tinggal dengan misi “penyampaian fakta” yang selama ini diembannya. Tentu saja hal ini tidak mengherankan karena media-media pragmatis Amerika telah melakukannya sejak sepuluh tahun lalu.

Dalam kondisi yang demikian selama 10 hari perang Gaza, televisi CNN menayangkan gambar-gambar kerusakan, jasad anak-anak yang dijejerkan, berbagai aksi unjuk rasa dan wawancara dengan sejumlah orang-orang Yahudi anti zionis. Penyampaian fakta dalam tayangan ini jelas tidak sesuai dengan garis media Barat. Namun subtitel di bawah tayangan itu dengan jelas menunjukkan bahwa berita itu adalah hasil produksi Radio dan Televisi Republik Islam Iran sesuai pesanan CNN.

Penyampaian fakta yang dilakukan oleh media-media yang berafiliasi muqawama di Gaza memunjukkan mereka mampu menyampaikan kenyataan sebenarnya yang terjadi di Gaza dan mempengaruhi opini internasional. Fakta di lapangan yang dilaporkan ternyata lebih ampuh berkali-kali lipat dari perang urat syaraf. Hal ini membuat hancurnya mitos monopoli media Barat yang berujung pada bangkitnya opini umum menentang Rezim Zionis Israel. Sekali lagi ini membuktikan kemenangan realisme media yang diusung media muqawama.

Di mana-mana konsumen informasi selalu mencari informasi yang dapat memuaskannya. Karena cepat atau lambat (baik dalam perang 8 tahun Iran-Irak, 33 hari perang Lebanon dan 22 hari perang Gaza), debu-debu di medan perang akan surut dan modal paling penting media, yaitu kepercayaan, akan dipermasalahkan.

Media-media yang berafiliasi ke muqawama juga berusaha untuk membongkar monopoli informasi dengan memobilisasi opini umum menentang Rezim Zionis Israel. Dalam dalam usaha ini, bukan saja mereka berhasil melakukan itu, bahkan usaha ini menjadi pemicu munculnya Renaissance Informasi.

Ada beberapa usaha media Barat yang gigih dilakukan dalam perang 22 hari Gaza. Hal itu dilakukan mulai dari mengisolasi muqawama dari masyarakat internasional, merusak citra muqawama, menyederhanakan agresi brutal ke Gaza, menyelewengkan sebab perang sebagai usaha membela diri menghadapi serangan roket, tidak menjelaskan akar krisis Palestina, mendudukkan penjagal Israel sejajar dengan rakyat Gaza yang tertindas hingga memunculkan keraguan akan masa depan perang dan lain-lain merupakan protokol yang harus diterapkan oleh media-media Barat dalam menginformasikan perang 22 hari Gaza. Mesin-mesin propaganda Rezim Zionis Israel berusaha keras melakukan teror pribadi para pemimpin Palestina, menciptakan friksi di front muqawama, menggantikan fakta dengan asumsi, menciptakan ketakutan di tengah-tengah rakyat dan membesar-besarkan kemampuan intelejen dan kekuatan operasi militer rezim ini.

Muqawama dengan memanfaatkan kemampuan media yang dimiliki berusaha menayangkan gambar-gambar nyata dari wanita dan anak-anak yang menjadi korban agresi brutal militer Israel untuk melawan tank-tank Israel. Menyingkap perilaku tak berperikemanusiaan Rezim Zionis Israel terhadap anak-anak, wanita, lembaga-lembaga internasional seperti UNRWA, wartawan, pengeboman sekolah-sekolah dan pemanfaatan senjata pemusnah massal non konvensional seperti bom fosfor, DIME dan lain-lain adalah usaha yang dilakukan oleh media-media muqawama.

Menarik untuk dicermati terkait warga negara para wartawan yang meliput perang 22 hari Gaza. Para wartawan dan kameraman yang meriwayatkan kejahatan perang yang dilakukan Rezim Zionis Israel terhadap rakyat Gaza dalam perang 22 hari semuanya asli orang Palestina. Fenomena menarik. Karena hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya muqawama Islam yang berhasil menghadapi mesin-mesin perang Israel dan Barat, tapi di bidang informasi para wartawan Palestina juga berhasil membuat mesin-mesin propaganda Barat bertekuk lutut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar