Mengakhiri spekulasi dalam beberapa pekan terakhir, mantan Presiden Iran Mohammad Khatami akhirnya mengumumkan pencalonan dirinya sebagai presiden, Minggu (8/2). Khatami akan menantang presiden incumbent, Mahmoud Ahmadinejad, dalam pemilu pada Juni mendatang. Demikian dilaporkan Situs Koran Kompas, hari ini.
Kompas mengutip Kantor Berita IRNA melaporkan, “Saya menyatakan bahwa saya akan maju dalam pemilu mendatang.” Khatami yang dikenal luas sebagai pemimpin kaum reformis didesak oleh rekan-rekannya untuk segera mengumumkan pencalonan. Sebelumnya, dia masih ragu-ragu dengan mengatakan dia atau mantan Perdana Menteri Iran Mir Hossein Mousavi yang akan maju. Yang dimaksud Koran Kompas adalah Mantan Perdana Menteri Mir Hossein Mousavi.
Memang, Khatami sebelumnya berulangkali menyatakan dukungannya terhadap Mir Hossein Mousavi yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Iran di masa perang Irak-Iran. Sebagaimana dilaporkan Situs Pemberitaan Asriran, Khatami bahkan sempat menunda pengumuman pencalonan dirinya hingga sepekan. Khatami menyatakan dirinya akan meyakinkan Mir Hossein Mousavi untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Rupanya, Mir Hossein tidak bersedia untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Dengan demikian, Mantan Presiden Iran menyatakan siap menjadi calon presiden mendatang. Melalui pengumuman tersebut, Khatami akan menjadi pesaing tangguh Presiden Iran saat ini, Ahmadinejad.
Mir Hossein Mousavi dapat dikatakan sebagai salah satu tokoh yang diharapkan masyarakat Iran untuk mecalonkan diri sebagai presiden. Prestasi Mousavi yang mampu mengendalikan negara di saat krisis dan perang Irak-Iran mendapat pengakuan jempol oleh masyarakat Iran. Untuk itu, bukanlah hal yang mengherankan, jika Mir Hossein Mousawi sangat diharapkan untuk menjadi presiden.
Koran Kompas dalam laporannya secara tendensius melaporkan, para analis mengatakan, Khatami adalah sosok paling berpeluang di antara kandidat reformis lain untuk mengalahkan Ahmadinejad. Khatami menang mutlak dalam pilpres 1997 dengan harapan gerakan reformis akan membawa kebebasan beragama dan demokrasi di negara republik Islam itu. Namun, faktanya, kekuatan sesungguhnya di Iran tetap di tangan pemimpin tertinggi, Ayatollah Ali Khameni. Hingga Khatami lengser pada 2005, dia tidak mampu membuat perubahan berarti untuk mengurangi kekuasaan kelompok garis keras.
Menanggapi laporan tendensius tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Khatami yang pernah menjadi Presiden Iran dua kali berturut-turut akan menjadi pesaing kuat Ahmadinejad. Namun laporan Kompas ini menambahkan bahwa Khatami seakan memperjuangkan demokrasi dan kebebasan beragama di Republik Islam Iran. Padahal, demokrasi dan kebebasan beragama di negeri ini sudah terwujud semenjak terbentuknya pemerintah Islam. Pendiri Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra, menggagas revolusi Islam di negara ini dan melengserkan dinasti despotik Shah Reza Pahlavi dengan tujuan yang jelas, yakni memperjuangkan demokrasi dan melawan kediktatoran. Hal itu juga dibuktikan oleh sikap Imam Khomeini setelah keberhasilan revolusi, dengan menggelar referendum untuk memilih sistem pemerintahan. Hasilnya adalah lebih dari 90 persen warga Iran memilih sistem pemerintahan Republik Islam. Ini menunjukkan bahwa Republik Islam Iran dibangun berdasarkan landasan demokrasi atau suara rakyat.
Setelah terbentuknya pemerintahan Islam, sistem baru negara ini menerapkan sistem pemilihan umum untuk sejumlah instansi. Berdasarkan sistem Republik Islam Iran, terdapat empat pemilihan umum di negeri ini. Keempat pemilihan umum tersebut adalah pemilu Dewan Ahli Kepemimpinan (Majles-e Khebregan-e Rahbari), Parlemen (Majles-e Shura-e Islami), Presiden dan Dewan Kota. Dewan Ahli Kepemimpinan berfungsi untuk memilih Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, yang juga diistilahkan dengan Wali Faqih. Selain itu, para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan yang dipilih rakyat, juga mengawasi kinerja Wali Faqih yang kini dijabat oleh Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei. Sementara Dewan Kota berfungsi memilih Walikota dan mengawasi kinerjanya. Dengan demikian, Iran merupakan negara yang sangat demokratis. Untuk itu, sangat mengherankan jika Koran Kompas dalam laporannya bahwa Khatami memperjuangkan demokrasi di negara ini.
Yang lebih mengejutkan lagi, Kompas dalam laporannya mengaitkan kegagalan Khatami dalam memperjuangkan demokrasi, dengan tetap berkuasanya Ayatollah Al-Udzma Khamenei di pucuk kekuasaan di negara ini. Padahal Ayatollah Al-Udzma Khamenei terpilih sebagai Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran berlandaskan mekanisme demokrasi. Sepeninggal Imam Khomeini ra, mayoritas anggota Dewan Ahli Kepemimpinan memilih Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei sebagai pengganti Imam Khomeini ra. Berdasarkan pemilihan tersebut, Ayatollah Al-Udzma Khamenei dibaiat sebagai Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran yang dikenal dengan istilah Rahbar.
Uniknya lagi, Kompas juga menyebutkan bahwa Khatami adalah sosok yang memperjuangkan kebebasan beragama. Kebebasan apakah gerangan dimaksudkan oleh Kompas? Sebab di Iran, pemeluk agama selain Islam juga bebas menjalankan ibadah dan keyakinannya. Bahkan, agama Kristen, Majusi dan Yahudi mempunyai wakil-wakil resmi di parlemen. Mereka mempunya jatah khusus di parlemen dengan tujuan menampung aspirasi kelompok minoritas agama. Lebih dari itu, tempat-tempat peribadatan Kristen, Majusi dan Yahudi sangat menonjol di negeri ini. Gereja besar dengan tanda salib yang menjulang tinggi dapat disaksikan di Tehran dan sejumlah kota besar lainnya.
Republik Islam Iran kini memperingati kemenangan Revolusi Islam ke-30. Hingga kini, Iran menunjukkan kegigihannnya dalam melawan kezaliman di dunia. Upaya penumpasan kezaliman di dalam negeri telah berhasil dilakukan oleh Pendiri Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini bersamaan dengan tumbangnya rezim despotik Shah Reza Pahlevi. Iran telah cukup tangguh bahkan kiprahnya diperhitungkan di pentas dunia. Untuk itu, warga Iran hingga kini terus mendukung Republik Islam Iran yang mengapresiai aspirasi rakyat.
Media-media sudah selayaknya bersikap obyektif dalam mengomentari perkembangan dan demokrasi di Iran. Tidak sepatutnya media-media Indonesia berkiblat ke Barat dengan melakukan kekonyolan dan menyampaikan data-data infaktual soal Iran. (irib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar