Senin, 09 Februari 2009

HABIB.....??????

Mencari Habib Sejati

Sejumlah kata mengalami inflasi makna. Habib adalah salah satunya. Sekarang ini setiap orang keturunan Arab seakan-akan berhak menyandang gelar habib itu.

Dari mana habib berasal? Tentu dari bahasa Arab. Hubb, ahabbah–yuhibbu–hubban, menurut Kamus Arab-Inggris-Indonesia terbitan Al-Maarif, Bandung (1983), berarti cinta atau mencintai. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (2005) mengartikan habib sebagai yang dicintai atau kekasih. Bisa juga panggilan kepada orang Arab yang artinya tuan atau panggilan kepada orang yang bergelar sayid.

Sayid berasal dari saadah, ya siidu, siyadah yang berarti pimpinan atau ketua yang melayani (ummat). Kamus Besar mengartikan sayid sebagai tuan atau sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad. Kamus Besar memperjelas kata itu dengan sayidani yang berarti tuan yang dua–sebutan untuk dua cucu Nabi, yaitu Hassan dan Hussein.

Berkaitan dengan dua kata tadi, ada kata syarif yang berarti orang yang mulia. Kata ini juga berarti bangsawan, sebutan bagi keturunan Nabi Muhammad yang langsung dari garis Hussein. Yang perempuan disebut syarifah.

Dengan begitu, habib disematkan sebagai bentuk kecintaan umat terhadap guru yang mengajarkan kebaikan dan akhlak. Ini sama dengan gelar kiai atau ajengan di Jawa.

Sejarah Islam menjelaskan, habib merupakan gelar mulia untuk keturunan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Nabi Muhammad ini dibunuh secara kejam di Karbala. Anaknya, Ali Zainal Abidin, karena tekanan penguasa khalifah “Islam”, hanya bisa menjadi ahli ibadah, maka di belakang namanya ada gelar abidin.

Semua khalifah “Islam” memusuhi keturunan Hussein karena takut pengaruh keilmuan dan ketinggian asal keturunannya. Keturunan kedelapan, Ahmad bin Isa, akhirnya pindah dari Basrah di Irak selatan ke Hadramaut di Yaman. Ia wafat pada 345 Hijriyah. Cucu Ahmad bin Isa, Alwi bin Ubaidillah, yang menetap di Hadramaut, dan keturunannya kemudian dinamai Alawiyin.

Penetapan nama itu, menurut Tharick Chehab (1975)–yang ditulis kembali oleh Kurtubi (10 Januari 2007) dalam Sejarah Singkat Habaib (Alawiyin) di Indonesia–dilakukan karena di Hadramaut berlaku undang-undang kesukuan. Setiap keluarga harus punya nama suku. Beberapa suku besar dan ningrat di Yaman saat itu disebut Qabili. Mereka memusuhi keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib itu.

Karena tekanan masyarakat semakin kuat, keturunan keenam Alwi bin Ubaidillah, Muhammad al-Faqih al-Muqaddam, meninggalkan mazhab ahlul bait yang dianutnya. Secara kompromis ia menerima mazhab Muhammad bin Idris al-Syafi-i al-Quraisyi atau mazhab Syafi’i. Setelah Al-Muqaddam wafat di Tarim pada 653 tarikh Islam, keturunannya pun menyebar ke Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand, Filipina, Tiongkok, juga Indonesia.

Di Indonesia, keturunan Hussein masih membawa nama keluarga karena pengaruh kehidupan di Hadramaut. Kita mengenal Al-Attas (yang berarti bersin atau bangkis), As-Saqaf (atap/langit-langit), Al-Haddad (hadid, besi/pandai besi), Al-Habsyi (nama tempat di Afrika, Habsyah), Al-Jufri, dan sebagainya. Nama belakang itu berasal dari panggilan, profesi, atau asal-muasal, seperti nama marga di Tapanuli, Makassar, atau Jawa.

Di beberapa negara, alawiyin bisa dikenali lewat sebutan sayyid, syarif, ayib, atau sidi di depan nama mereka. Misalnya bekas Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, atau pemimpin tertinggi Iran, Sayyid Ali Khamenei.

Masyarakat kita mengenal orang-orang mulia, tinggi ilmu agama, dan terpuji akhlaknya seperti Habib Sholeh bin Muchsin Alhamid dari Tanggul, Habib Abdurahman Alaydrus dari Luar Batang, Jakarta Utara, dan Habib Ali Alhabsyi dari Kwitang, Jakarta Pusat. Artinya, sayyid atau habib hanya pantas disandang orang dengan tingkat ketakwaan, kezuhudan, dan keilmuan yang tinggi serta berakhlak mulia.

Gelar habib itu bukan gelar untuk keturunan Arab yang hanya cakap memakai sorban dan jubah tapi jauh dari akhlak mulia. Itu bukan gelar untuk mereka yang suka memakai kekerasan, apalagi mengatasnamakan agama.

(ditulis oleh Ahmad Taufik, Wartawan. Sumber: Majalah Tempo edisi 9-15 Februari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar