Indonesia merupakan negara Muslim pertama yang dikunjungi mantan Senator New York ini sejak dilantik menjadi Menteri Luar Negeri AS satu bulan lalu. Kunjungan Hillary ke Asia Timur dan Tenggara merupakan pendekatan diplomasi baru di bawah pemerintahan Presiden AS Barack Obama. Demikian dilaporkan Situs Koran Kompas.
Terkait kunjungan Hillary ke Indonesia, Menlu Hassan mengatakan, kredibilitas Indonesia yang semakin kuat di mata AS merupakan salah satu alasan mengapa Indonesia dipilih menjadi salah satu dari sedikit negara yang dikunjungi Hillary. Hal lainnya adalah keberhasilan Indonesia menjadi model di mana demokrasi, Islam, dan modernitas dapat berjalan beriringan.
Hal yang sama diungkapkan oleh pengamat luar negeri Teuku Rezasyah dari Universitas Padjajaran. Dikatakannya, "Kunjungan Hillary bukan hanya sekadar nostalgia Presiden Obama. Indonesia telah berhasil dalam proses demokratisasi."
Memperhatikan pernyataan pejabat dan pengamat Indonesia, mereka terjebak dalam eufora yang berlebihan ketika mengomentari kedatangan Hillary ke Indonesia. Jakarta semestinya bersikap lebih waspada dalam menanggapi kedatangan Menlu AS. Indonesia yang dikenal dengan negeri muslim terbesar di dunia, tidak seharusnya mereaksi kunjungan tersebut secara berlebihan. Terlebih, AS hingga saat ini belum menunjukkan indikasi perubahan secara serius. Anggota DPR, Abdillah Toha disaat diwawancarai IRIB mengatakan, " Menanggapi perubahan politik AS, kita harus bersikap menunggu kebijakan Washington; Apakah Gedung Putih akan melakukan perubahan secara serius atau tidak? " Lebih lanjut Abdillah Toha mengibaratkan AS seperti tank besar yang susah membelok. Untuk itu, Abdillah Toha lebih cenderung bersikap tidak terlalu mengharapkan perubahan politik AS.
Kemudian, Juru Bicara Kepresidenan Dino Pati Djalal mengatakan, salah satu pokok bahasan antara Presiden SBY dan Hillary adalah proposal perdamaian Palestina. Dalam Cakrawala Indonesia sebelumnya, kami mengingatkan bahwa ada empat tuntutan bangsa Palestina mengenai gencatan senjata dengan Rezim Zionis Israel. bangsa Palestina menuntut pembukaan pintu-pintu gerbang Palestina, pencabutan aksi blokade terhadap Jalur Gaza, penghentian serangan ke kawasan-kawasan otonomi Palestina dan pembebasan tahanan Palestina. Bahkan perkembangan terbaru, Palestina juga menuntut adanya kawasan terlarang atau bebas aktivitas militer yang berjarak 300 metera antara Jalur Gaza dan Palestina pendudukan atau Israel. Itu semua adalah tuntutan yang tak bisa ditawar-tawar oleh bangsa Palestina yang harus didukung pemerintah Indonesia.
Indonesia harus bersikap tegas mengenai Palestina. Jika mengambil langkah standar ganda atau mencari aman di mata AS yang dalam konteks ini adalah pendukung utama Rezim Zionis Israel, pemerintah Indonesia dapat terkucilkan di dunia. Perjuangan atau moqawamah Hamas harus diapresiasi pemerintah Indoensia. Menyikapi masalah Palestina dan serangan Israel akhir-akhir ini, Indonesia selama ini mengambil langkah yang cukup bijak. Bahkan, pemerintah Indonesia sempat menolak resolusi PBB yang dinilai terlalu lembek dalam menyikap arogansi Israel. Sikap semacam ini harus dipertahankan hingga akhir. Jangan sampai kedatangan Hillary membuat sikap tegas Indonesia terhadap Israel menjadi mlempem.
Kami sangat mengapresiasi sikap Abdillah Toha, anggota DPR dari Fraksi PAN yang bersikap cerdas dalam menanggapi perkembangan politik internasional. Bahkan Abdillah Toha ketika diwawancarai IRIB menyatakan secara tegas bahwa muslim yang berakal pasti mendukung perjuangan Hamas. Terlebih, Hamas selama ini membuktikan pembelaan sesungguhnya pada bangsa Palestina.
Sikap Abdiillah Toha dalam menanggapi perkembangan politik internasional, termasuk mengenai perubahan politik AS, harus ditiru oleh pejabat dan analis politik Indonesia. Dengan demikian, para pejabat dan pengamat tidak terjebak dalam eufora yang berlebihan ketika didatangi Hillary.
Pengamat luar negeri dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, juga menyinggung bahwa beberapa pihak juga menyarankan agar Pemerintah Indonesia membahas mengenai keberadaan korporasi AS di Indonesia, khususnya pertambangan. Menurutnya, jika tidak segera dibahas di pertemuan-pertemuan formal, hal tersebut dapat menjadi bom waktu bagi pemerintah yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Harian Kompas edisi 15 Februari 2009 juga melansir sejumlah korporasi tambang di Indonesia yang diduga melanggar Foreign Corrupt Practices Act (FCPA). FCPA adalah sebuah peraturan di AS yang lahir pada 1977 dan direvisi 1988. Peraturan tersebut melarang semua korporasi AS yang beroperasi di luar negeri menyuap para pejabat negara di tempatnya beroperasi.
Pada dasarnya, banyak hal yang harus dibahas. Di antara masalah-masalah yang harus dibahas dengan AS adalah kasus Freeport dan Blok Cepu.Tentunya, kita semua mengetahui, PT. Freeport adalah perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia. Sejak tahun 1967 perusahaan ini telah beroperasi melakukan eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang di Pegunungan 'surga dunia' Grasberg, Timika. Semula, hanya ditemukan bijih tembaga, namun sejak tahun 1988, ditemukan deposit emas yang diperkirakan mencapai 2,8 milyar metrik ton bijih. Belakangan, diakui sebagai kandungan emas terbesar di dunia. Hingga kini perusahaan yang bermarkas di New Orleans, AS itu mampu memproduksi 200.000 ribu ton bijih emas setiap harinya (PR, 18/3). Nama Freeport pun kian melambung, hingga pernah menjadi salah satu perusahaan yang dibanggakan. Hingga tahun 2005, Freeport masih berada di posisi 12 besar perusahaan terfavorit
Sementara pendapatan perusahaan pada tahun 2005, sebagaimana dilansir The Australian News, dipastikan mengeruk keuntungan sebesar US$ 1,2 miliar dari total pendapatan US$ 4,2 miliar. Selama tahun 2005, total penghasilan langsung pemerintah Indonesia dari Freeport diklaim sekitar US$ 880 juta. Secara prosentase, tentunya angka itu sangat kecil. Kondisi terakhir, Indonesia hanya memiliki 9, 36 % saham.
Belum lagi usai kisruh Freeport, Exxon Mobile Oil memboyong gelar panglima operasi Blok Cepu. Exxon yang telah mengambil alih kepemilikan saham PT Humpuss sejak tahun 2000 tetap memegang kendali operasi terhadap eksploitasi kilang minyak yang diperkirakan mengandung cadangan sekitar 11 miliar barrel itu. Ironis, ibarat menyerahkan posisi kepala keluarga kepada tamu yang bukan penghuni rumah.
Mengenai Blok Cepu, Revrisond Baswir, seorang pengamat Ekonomi UGM, berharap SBY bisa bersikap seperti Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang berani menentang tekanan AS, hingga ia memutuskan untuk mengelola sendiri cadangan minyaknya
Memang, fenomena ini merupakan satu keprihatinan bagi kita, sebagai bangsa yang tengah merangkak menghadapi berbagai krisis. Bangsa yang ternyata tak kunjung meraih kepercayaan dirinya untuk mencoba mandiri dan berdiri tegak mengukir prestasi. Sudah saatnya bagi kita untuk melepaskan diri dari cengkeraman bangsa-bangsa yang haus kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar