Jumat, 27 Februari 2009

intermezo....>>>>>> Golongan pulus<<<<<<<

Golpul

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sepanjang bulan-bulan ini, yang perlu diwaspadai bukan hanya datangnya musim penghujan yang merugikan hajat hidup orang banyak. Melainkan juga “musim suap” menjelang pemilu 2009.

monkey_money

Sejak pemerintah memberlakukan model pemilihan langsung pada 2005 hingga tahun 2008, sudah 343 kali pilkada digelar. Bila dirata-ratakan, pesta rakyat itu dilaksanakan enam sampai tujuh kali dalam sebulan. Angka ini cukup fantastis untuk ukuran sistem demokrasi di Indonesia yang usianya masih sangat belia namun sangat rumit. International Observer (2004) sampai menyebut sistem pemilihan di Indonesia sebagai “The most complex election system in the world and the biggest ever election ever held in a one single day.”

Dampaknya, ruang politik nasional yang sebelumnya begitu senyap oleh politik pembungkaman ala Orba, tiba-tiba menjadi begitu riuh rendah. Selain diramaikan spanduk, poster, hingga bendera politik yang dibentangkan di ruang publik, pesta rakyat itu juga acap diwarnai saling gugat hingga kerusuhan antar pendukung calon pemimpin.

Namun belum lagi semua itu ditanggulangi, kita harus kembali dipusingkan dengan penyelenggaraan pemilu legislatif (juga eksekutif) beberapa bulan mendatang. Kompetisi yang berlangsung tentu jauh lebih sengit ketimbang pilkada. Begitu pula modusnya yang kian bervariasi dan membingungkan. Beberapa bulan silam, para kandidat legislatif via money power dan koneksi internal partai, mudah memesan jatah kursi nomor wahid atau satu-dua angka di bawahnya. Syukurlah, KPU akhirnya menetapkan calon pendulang suara tebanyaklah yang berhak maju. Artinya, satu celah untuk money politics (politik fulus) tertutup rapat.

Namun, ini tidak berarti modus “membeli pemilih” ikut-ikutan kandas. Di ruang publik, mulai dari warung makan pinggir jalan hingga pangkalan ojek, “uang hadiah” pemberian caleg tertentu bukan lagi perkara aneh. Sejak jauh-jauh hari, para makelar politik, termasuk yang gadungan, sudah bergentayangan. Mereka menetapkan ongkos angkutan politik dari “caleg” ke “leg”. Besarannya bisa bermacam-macam. Tergantung tujuan, rute, dan jarak tempuh. Ongkos yang dikutip ke kotamadya berbeda dengan ke ibukota provinsi, apalagi ke ibukota negara.

Para makelar itu persis siluman. Ada tapi tak nampak. Ciri lainnya, mereka acap lebih agresif dari sang caleg. Menghalalkan segala cara adalah prinsip yang diusungnya. Mulai dari intimidasi, eksploitasi simbol agama dan etnis, sampai money politics. Kalau perlu, melakukan provokasi, black campaign, hingga mencopot poster partai lawan atau caleg lawan sekalipun dia berasal dari partai yang sama.

Tanpa mengada-ada, kenyataan ini telah melembaga plus memiliki sistem kerja yang rapi dan jaringan anatomis mulai dari tingkat dusun sampai kota. Mereka begitu piawai meyakinkan caleg untuk menggunakan jasanya. Alhasil, berdasarkan sepak terjangnya dalam proses demokrasi di manapun, mereka layak dijuluki preman politik yang ikut mengembangbiakkan politik fulus.

Sementara di tingkat elit, perang kasak kusuk berlangsung sengit tentang capres siapa menggandeng siapa. Ada yang sangat pe-de dengan capres “yang itu-itu juga” lalu sibuk melempar isu siapa cawapres yang akan digandeng, bagai pasar lelang. Ada pula yang dengan malu-malu memperlakukan dirinya bak gadis cantik yang menunggu pinangan sebuah partai meski tidak punya kendaraan politik sendiri. Ada yang sengaja memakai jurus “diam” sembari wait and see karena takut keliru.

Tidak sampai disitu. Kampanye negatif dan rekayasa opini yang kadang menjurus kepada ‘pembunuhan karakter” pun mulai menjadi modus. Yang dulu menjadi kawan dan sekutu bisa menjadi lawan, begitu pula sebaliknya. Kasus-kasus aneh mulai muncul mulai dari kampanye terselubung hingga Panti Pijat pun tersangkut.

Para pengamat dan para ahli survei melalui ragam lembaga survei yang kian berjaur sibuk mengias rezeki. Mereka terus-terus terkesan seperti mengompori suasana persaingan antar capres.

“Tidak ada teman abadi. Yang ada kepentingan abadi” adalah slogan, yang entah dari mana munculnya, kini menjadi semacam alat justifiksi dalam komunikasi politik. Mungkin dalam kamus politik, sahabat adalah frase semacam cek kosong yang bisa diisi dengan apap saja. Kata “sekutu”, “poros” dan “aliansi” pun demikian.

Mestinya fatwa haram dikenakan pada praktik ini karena ia masuk dalam kategori “golpul” (golongan pulus). (www.adilnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar