Minggu, 15 Februari 2009

Catatan Tempo: Mencari Habib Sejati


Oleh: Ahmad Taufiq

Tempointeraktif memuat catatan wartawan senior Ahmad Taufik mengenai habib. Dalam catatan tersebut, Ahmad Taufik mengungkap makna di balik istilah habib.

Sejumlah kata mengalami inflasi makna. Habib adalah salah satunya. Sekarang ini setiap orang keturunan Arab seakan-akan berhak menyandang gelar habib itu. Itulah sindiran pertama Ahmad Taufik yang ditujukan kepada keturunan Arab di nusantara.

Dari mana habib berasal? Tentu dari bahasa Arab. Hubb, ahabbah-yuhibbu-hubban, menurut Kamus Arab-Inggris-Indonesia terbitan Al-Maarif, Bandung (1983), berarti cinta atau mencintai. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (2005) mengartikan habib sebagai yang dicintai atau kekasih. Bisa juga panggilan kepada orang Arab yang artinya tuan atau panggilan kepada orang yang bergelar sayid.

Sayid berasal dari saadah, ya siidu, siyadah yang berarti pimpinan atau ketua yang melayani (ummat). Kamus Besar mengartikan sayid sebagai tuan atau sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad. Kamus Besar memperjelas kata itu dengan sayidani yang berarti tuan yang dua-sebutan untuk dua cucu Nabi, yaitu Hassan dan Hussein.

Berkaitan dengan dua kata tadi, ada kata syarif yang berarti orang yang mulia. Kata ini juga berarti bangsawan, sebutan bagi keturunan Nabi Muhammad yang langsung dari garis Hussein. Yang perempuan disebut syarifah.
Dengan begitu, habib disematkan sebagai bentuk kecintaan umat terhadap guru yang mengajarkan kebaikan dan akhlak. Ini sama dengan gelar kiai atau ajengan di Jawa.

Sejarah Islam menjelaskan, habib merupakan gelar mulia untuk keturunan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Nabi Muhammad ini dibunuh secara kejam di Karbala. Anaknya, Ali Zainal Abidin, karena tekanan penguasa khalifah “Islam”, hanya bisa menjadi ahli ibadah, maka di belakang namanya ada gelar abidin.

Semua khalifah “Islam” memusuhi keturunan Hussein karena takut pengaruh keilmuan dan ketinggian asal keturunannya. Keturunan kedelapan, Ahmad bin Isa, akhirnya pindah dari Basrah di Irak selatan ke Hadramaut di Yaman. Ia wafat pada 345 Hijriyah. Cucu Ahmad bin Isa, Alwi bin Ubaidillah, yang menetap di Hadramaut, dan keturunannya kemudian dinamai Alawiyin.

Penetapan nama itu, menurut Tharick Chehab (1975)-yang ditulis kembali oleh Kurtubi (10 Januari 2007) dalam Sejarah Singkat Habaib (Alawiyin) di Indonesia-dilakukan karena di Hadramaut berlaku undang-undang kesukuan. Setiap keluarga harus punya nama suku. Beberapa suku besar dan ningrat di Yaman saat itu disebut Qabili. Mereka memusuhi keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib itu.

Karena tekanan masyarakat semakin kuat, keturunan keenam Alwi bin Ubaidillah, Muhammad al-Faqih al-Muqaddam, meninggalkan mazhab ahlul bait yang dianutnya. Secara kompromis ia menerima mazhab Muhammad bin Idris al-Syafi-i al-Quraisyi atau mazhab Syafi’i. Setelah Al-Muqaddam wafat di Tarim pada 653 tarikh Islam, keturunannya pun menyebar ke Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand, Filipina, Tiongkok, juga Indonesia.
Di Indonesia, keturunan Hussein masih membawa nama keluarga karena pengaruh kehidupan di Hadramaut. Kita mengenal Al-Attas (yang berarti bersin atau bangkis), As-Saqaf (atap/langit-langit), Al-Haddad (hadid, besi/pandai besi), Al-Habsyi (nama tempat di Afrika, Habsyah), Al-Jufri, dan sebagainya. Nama belakang itu berasal dari panggilan, profesi, atau asal-muasal, seperti nama marga di Tapanuli, Makassar, atau Jawa.

Di beberapa negara, alawiyin bisa dikenali lewat sebutan sayyid, syarif, ayib, atau sidi di depan nama mereka. Misalnya bekas Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, atau pemimpin tertinggi Iran, Sayyid Ali Khamenei.
Masyarakat kita mengenal orang-orang mulia, tinggi ilmu agama, dan terpuji akhlaknya seperti Habib Sholeh bin Muchsin Alhamid dari Tanggul, Habib Abdurahman Alaydrus dari Luar Batang, Jakarta Utara, dan Habib Ali Alhabsyi dari Kwitang, Jakarta Pusat. Artinya, sayyid atau habib hanya pantas disandang orang dengan tingkat ketakwaan, kezuhudan, dan keilmuan yang tinggi serta berakhlak mulia.

Gelar habib itu bukan gelar untuk keturunan Arab yang hanya cakap memakai sorban dan jubah tapi jauh dari akhlak mulia. Itu bukan gelar untuk mereka yang suka memakai kekerasan, apalagi dengan mengatasnamakan agama.

Di akhir catatan catatan Ahmad Taufik tersebut, wartawan senior Tempo itu menunjukkan kekecawaannya atas sejumlah keturunan Arab yang jauh dari akhlak mulia. Bahkan sejumlah dari mereka cenderung menonjolkan pakaian berjubah tanpa dibarengi dengan ilmu dan akhlak yang mulia.

Ahmad Taufik yang juga keturunan Arab, menyatakan hal tersebut dengan harapan supaya saudara-sudaranya kembali ke khittah yang diwariskan kakek-kakeknya. Terlebih, kata habib melatarbelakangi sejarah perjuangan historis yang tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah manusia, yakni pengorbanan Imam Husein as di Karbala.
Dalam catatan tersebut, Ahmad Taufik menyebutkan, ada sejumlah tokoh penting yang bergelar keturunan Imam Husein as, seperti Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atua Rahbar, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei.
Jika memperhatikan konstelasi politik di dunia, khususnya di Timur Tengah, kita akan menyaksikan tokoh-tokoh sayid yang berjuang serius untuk membela masyarakat di sekitarnya. Di Iran, kita dapat melihat kewibawaan dan kecerdasan Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei. Keberadaannya pun mengilhami perjuangan dan perlawanan anti pendudukan di sekitar kawasan.

Di Irak, kita dapat menyaksikan tokoh pemersatu Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Sistani. Bahkan para analis politik membayangkan bahwa Irak di bawah tekanan tentara pendudukan, tak akan terkendali tanpa peran Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei.

Di Lebanon, kita juga dapat menyaksikan peran Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayid Hasan Nasrollah. Kegigihannya membuat bangsa Arab, khususnya rakyat Lebanon semakin percaya diri menghadapi Rezim Zionis Israel. Bahkan, Hizbullah di bawah kendali Sayid Hasan Nasrollah berhasil mempersatukan kelompok-kelompok di negeri ini. Sebelumnya, pengaruh asing sangat dominan di negeri ini. Namun karena peran Hizbullah, Lebanon kini mempunyai kebijakan independen yang tak dapat dipengaruhi oleh asing.

Hingga kini, peran sayid atau keturunan Imam Husein as di dunia mempunyai pengaruh besar. Untuk itu, para keturunan Imam Husein as di nusantara sudah seharusnya kembali menempuh jalan yang ditempuh kakek-kakeknya. (Irib)

3 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wr.wb,
    Saya berasal dari Pariaman, Sumatera Barat. Ayah saya H. Sidi Makmur bin Tuanku Sidi Tanin berprofesi sbg pegawai negeri. Kakek saya Tuanku Sidi Tanin, walaupun saya tdk mengenalnya secara dekat, adalah seorg ulama pada masanya. Dan saya sendiri bekerja sbg professional engineer.
    Berkaitan dgn tulisan diatas bahwa gelar Sidi lbh pantas utk org dengan pengetahuan agama yg tinggi, apakah saya yg seorg professional akan dirasa kurang pantas, apabila menggunakannya? Jika iya, berarti saya terkesan menolak nashab saya sendiri, yg diakui bahwa gelar Sidi di Pariaman merupakan bagian pohon nashab Ahlul bait, spt yg dikatakan oleh ulama besar HAMKA dalam tulisannya.
    Wassalam,
    H. Sidi M. Historya Ayanda

    BalasHapus
  2. Asslm. Sy fajri syamsul bin syamsul bahri, gelar sy sidi. Km sekeluarga merantau ke aceh singkil t4 kelahiran ulama aceh yakni syech abdurrauf al singkili. Bgmn sy bs mengetahui bahwa gelar sy berasal dr nashab ahlul bait, dan kakek sy dr ibu jg bergelar sidi.

    BalasHapus
  3. Asslm. Sy fajri syamsul bin syamsul bahri, gelar sy sidi. Km sekeluarga merantau ke aceh singkil t4 kelahiran ulama aceh yakni syech abdurrauf al singkili. Bgmn sy bs mengetahui bahwa gelar sy berasal dr nashab ahlul bait, dan kakek sy dr ibu jg bergelar sidi.

    BalasHapus