Senin, 16 Februari 2009

Perbandingan Konsep Kebebasan Memilih (Ikhtiyar) antara Imam Hasan al-Bashri dan Mulla Shadra

ABU Sa’id al-Hasan Ibn Abi al-Hasan Yasar al-Bashri (21-642-110/728),1 yang lebih dikenal sebagai Hasan al-Bashri dan Shadr al-Din Muhammad (979/1571-1050/1640),2 yang populer disebut Mulla Shadra adalah dua jenius piawai dan ulama masyhur, dan wali di zaman mereka masing-masing. Al-Hasan dihadapkan dan ditantang3 dengan persoalan serius ihwal tanggung jawab perbuatan manusia dan pengertian qadar sebagai takdir yang sudah ditetapkan sebelumnya ("pre-determination"), merasakan pemberontakan seputar interpretasi qadar yang deterministik yang mengimplikasikan penolakan ikhtiar dalam Islam, dan menyingkap makna sejati qadar sebagai "kekuatan besar" (potentacy) yang tiada lain merupakan "kebebasan memilih" (freedom of choice) dari manusia yang dianugerahkan oleh Allah untuk memudahkan manusia dalam membangun dirinya pada sisi yang lebih baik dari kehidupan biasa.

Di sisi lain, Mulla Shadra acap kali diminta oleh kaum sufi dan sahabat-sahabat terpelajar4 untuk menguraikan dan memecahkan pengertian hakiki dan signifikansi konsep qadha, qadar, dan ikhtiyar, yang memunculkan persoalan tersebut dengan suatu pandangan untuk menghilangkan kegelapan, kesamaran, dan kepelikan yang melekat pada istilah-istilah tersebut, dengan argumentasi-argumentasi kuat, dan mengekspresikan serta membangun pengertian hakiki. Ia juga mengembangkan sebuah konsep yang sangat mirip dengan konsep al-Hasan. Bagaimanapun, mesti diakui bahwa baik al-Hasan maupun Mulla Shadra sama-sama mengembangkan konsep tentang pilihan di zaman mereka masing-masing. Tentu saja, cara pengungkapan dan corak argumentasi mereka sangat berbeda. Meski, pada dasarnya pemikiran mereka berdua tentang qadar dan ikhtiar adalah sama karena keduanya mengambil al-Quran sebagai titik tolak pemikiran mereka.

Kini kami akan meneruskan pembahasan ini mengenai pandangan-pandangan mereka satu demi satu dan akan melakukan perbandingan terhadap pemikiran-pemikiran mereka secara ringkas.

Hasan al-Bashri

Hasan al-Bashri ra melewati masa kanak-kanaknya dalam pangkuan istri-istri Nabi Islam saw.5 Ia menerima pendidikan dasar dan pembinaan moralnya dalam tradisi suci keluarga Nabi. Selama masa itu, ia mengembangkan kepribadian luhur di tengah-tengah tabi’in (pengikut) sahabat Nabi saw. Pada dasarnya, dengan wawasan intelektualnya yang memukau, ia memainkan peran kunci dalam model periwayatan zaman kenabian terhadap norma reflektif dari kontemplasi intelektual zaman pascakenabian.

Bagi ulama seperti dia, semua pemikiran kontemporer ―politis, filosofis, ataupun teologis― dapat dimengerti secara baik. Ia bisa mengetahui semua duduk persoalan yang berkembang di sekelilingnya. Maka tidak ada gagasan ―benar ataupun salah― khususnya kesalahan atau kekeliruan ataupun penyalahgunaan yang cermat atas teori apapun di zamannya, yang nyaris tidak meluputkan perhatiannya. Secara jelas ia bisa memahami apa yang dimaksudkan dengan gagasan qadar dan tanggung jawab perbuatan individu dengan rencana jahat terselubung dari penguasa Bani Umayyah.6 Terhadap situasi ini, al-Hasan mengawali diskusi mengenai konsep tersebut7 dan mengemukakan teori asli yang kandungannya didukung oleh Hasan Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib.8

Begitu mengetahui sebuah teori asli diajukan oleh al-Hasan, maka Khalifah ‘Abd al-Malik meminta pemikir ini untuk memberitahunya dalam sepucuk surat9 yang ia sebut dengan "suatu cara yang tidak dikenal". Al-Hasan merumuskan teori ini dan mengungkapkannya sebagai jawaban terhadap surat khalifah. Jawaban ini merupakan "Risalah" yang menyediakan gagasan asli mengenai qadar dan kebebasan memilih.

Ringkasnya, Risalah karya Hasan merupakan sebuah khotbah emosional yang membela tesis kehendak bebas dengan istilah qadar Allah. Dalam analisis kami, kami telah melihat bahwa qadar (potentacy) merupakan kualitas (sifat) Allah. Ini terbukti ketika qadar diidentifikasi dengan ‘amr’ dan ‘qadr’.11 Ketika amr dan qadar secara mutlak milik Allah, qadar ini —karena identifikasi penuh dengan mereka— maka ia pun kepunyaan Allah. Allah menjalankan qadar ini sebagai bimbingan12 bagi makhluk manusia sebagaimana direncanakan secara universal, sehingga manusia bisa mengikuti petunjuk ini, yang untuk itu manusia menjalankan Qadar-Nya. Allah telah menganugerahkan qudrah bagi manusia untuk menggunakan kemampuannya. Al-Hasan telah menekankan eksistensi qudrah (potency) pada diri manusia dan juga perantaranya bagi tindakan-tindakan.13 Karena itu, ada pertanyaan bagi al-Hasan: jika manusia berkuasa dan pelaku bagi tindakan-tindakannya, apakah ia bebas memilih perbuatannya sendiri?

Untuk memberikan jawaban yang terpisah, al-Hasan telah memberikan argumentasi langsung dan tidak langsung, keterangan implisit maupun eksplisit, dan telah menerapkan metode contradictio in adjecto untuk menemukan "bukti penjelas" yang membela tesisnya.

Al-Hasan berpandangan, manusia diperintah untuk dibimbing di jalan yang lurus. Artinya, manusia harus membimbing dirinya sendiri untuk menyembah Allah dan Dia telah menciptakan manusia untuk tujuan ini (ibadah). Al-Hasan berpandangan, jika ini (yakni ibadahnya manusia) merupakan tujuan Allah (dalam menciptakan manusia), maka Dia tidak akan pernah mencegah manusia dari apa yang telah diciptakan-Nya untuk mereka dan memberi petunjuk kepada mereka. Untuk menegaskan noktah ini, al-Hasan berkata:

"Kemudian Allah meminta mereka untuk beribadah kepada-Nya karena untuk itulah mereka diciptakan. Tidak layak bagi Allah untuk menciptakan manusia untuk satu hal dan kemudian turut campur. Allah sekali-kali tidak pernah zalim bagi hamba-hamba-Nya. Tak seorang pun manusia yang sudah wafat sebelumnya menyangkal gagasan ini atau tidak memperselisihkannya karena mereka bersepakat dengan pendapat ini. Kami pun telah mengawali diskusi ini karena orang-orang memandang ide yang tidak dikenal dan tidak dikehendaki tentangnya…"14

Di sini keterangan penting al-Hasan adalah bahwa orang-orang sebelumnya senantiasa meyakini bahwa Allah tidak pernah turut campur dalam pelaksanaan tujuan beribadah kepada-Nya.15 Orang-orang menganggap "ide pencegahan" tidak dikenal dan tidak masuk akal. Al-Hasan menyebutkan bahwa itu merupakan alasan baginya untuk mengawali pembahasan mengenainya. Ia menolak ide campur tangan Allah dalam perbuatan manusia. Pengambilan serangkaian keputusan rahasia semacam itu disebut sebagai naj’wa yakni diplomasi rahasia yang telah disitir oleh Allah dalam al-Quran Suci dengan mengatakan bahwa naj’wa berasal dari setan untuk tujuan melemparkan orang-orang beriman ke dalam kecemasan. Lebih jauh, al-Hasan mengatakan:

Muliakanlah Kitab Allah, wahai Amir al-Mu’minin, dan janganlah menyelewengkannya. Jangan memberikan tafsiran yang salah. Allah tidak melarang manusia dari (melakukan) sesuatu secara terbuka dan kemudian menentukan bagi mereka untuk melakukan sesuatu yang lain secara diam-diam sebagai kejahilan dan perkataan sia-sia.16

"Allah tidak melarang manusia secara terbuka untuk melakukan sesuatu ataupun Dia menentukan untuk melakukan sesuatu yang lain bagi siapapun secara diam-diam." Maksudnya, Allah tidak pernah mencegah manusia dari beribadah kepada-Nya dan al-Hasan menegaskan, Dia juga tidak menetapkan siapapun untuk perbuatan tertentu.

Al-Hasan mendasarkan bukti-bukti yang lebih dalam untuk gagasan ini. Ia mengatakan:

"Dan Allah tidak mengutus seorang rasul untuk dipatuhi dan kemudian mencegah makhluk-makhluk-Nya dari menaati-Nya. Betapa jauh hal itu dari sifat-sifat Allah dan keadilan dan pengetahuan lembut-Nya".17

Gagasan pencegahan tersebut dibantah dengan sengitnya oleh al-Hasan ketika ia mengatakan dalam Risalah:

"Allah memberikan tawfiq kepada manusia guna memudahkan mereka melakukan kebaikan-kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan dosa. Dalam hal ini, Allah memerintahkan siapapun untuk menaati-Nya dan meminta sesuatu kepada-Nya. Kemudian dengan kata-kata mereka anda merefleksikan diri anda sendiri, wahai Amir al-Mu’minin, dan jangan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah telah menakdirkan (qaddara) hamba-hamba-Nya untuk melakukan apa yang telah Dia larang untuk manusia. Kini perintah ini memperantarai antara mereka dan aturan Ilahi dan pengutusan Rasul saw mengajak mereka untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang Dia tetapkan (qadha) terhadap mereka. Kemudian Allah menghukum mereka selama kurun waktu tidak tentu ketika mereka tidak menaati perintah-Nya yang untuknya Allah tidak membukakan bagi mereka jalan apapun."18

Al-Hasan mengindikasikan pengawasan tersebut bahwa Allah memberikan pertolongan bagi sekelompok masyarakat untuk menaati-Nya dan memudahkan cara-cara mereka untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, dikatakan bahwasanya Allah menentukan sebagian orang untuk melakukan apa yang telah Dia larang. ‘Penetapan’ bagi mereka untuk melakukan hal-hal terlarang ini memperantarai antara apa yang Dia perintahkan dan apa yang telah Dia paksakan kepada manusia untuk melakukannya atas nama takdir. Dituduhkan juga bahwasanya Allah tidak membukakan jalan apapun bagi mereka. Artinya, Dia menutup pintu bagi mereka. Al-Hasan menolak pernyataan ini dengan sengitnya dan mengatakan bahwa mereka telah menolak Yang Mahakuasa: "Apakah orang-orang tersebut mengetahui siapa yang telah mereka tolak? Sesungguhnya mereka telah menolak Allah".19

Dari analisis ini, al-Hasan mencoba membuktikan bahwa ide pencegahan oleh Allah dengan cara beribadah kepada-Nya merupakan suatu dusta total yang dinisbatkan kepada Allah oleh kaum jahil hanya untuk kepentingan pribadi mereka sendiri.

Sekarang, jika ide ini merupakan suatu dusta dan imajinasi sebagaimana dibuktikan oleh al-Hasan, ini mengimplikasikan bahwa manusia tidak lagi dihalangi dari atau dicegah antara kepercayaan dan perbuatannya. Jika tak ada pencegahan ataupun campur tangan antara manusia dan pilihan serta perbuatannya, secara logis ia mengikuti apa yang sesungguhnya manusia imani atau tidak imani, taat atau maksiat, dan berbuat sesukanya. Artinya, manusia bebas untuk memilih perbuatan apapun. Al-Hasan menciptakan gagasan kebebasan memilih ini dengan alasan yang padat argumentasi, yakni menutupi ketiadaan ide pencegahan secara luas. Noktah ini menjadi lebih eksplisit ketika ia mencantumkan ide takhliyyah dan ikhtiyar dalam Al-Risalah.

Takhliyyah dan Ikhtiyar

dan

Al-Hasan mengatakan dalam Al-Risalah:

"Salah satu ayat yang mereka jadikan argumentasi adalah: Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah…(QS. 10:100). Namun izin membolehkan akses bebas (wa al-idzn al-takhliyyah). Dan Allah telah membiarkannya (yakni jiwa) jalan masuk terbuka (khallaha) untuk beriman dan telah memberikan potensi (qudrah) untuknya dan telah berfirman, Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. (QS 4:63)."21

Dalam pasase ini Al-Hasan telah memberikan keterangan langsung terhadap eksistensi kebebasan memilih. Harus disebutkan, al-Quran Suci menegaskan kebebasan memilih pada diri manusia secara empatik.22

Bagaimanapun, istilah takhliyyah, istilah paling fundamental bagi tesis al-Hasan mengenai kebebasan memilih, yang secara harfiah artinya "meninggalkan ruangan", "membiarkan", dan menandakan bahwa Allah membiarkan perbuatan manusia secara bebas dan tidak turut campur di dalamnya.23 Ketika disebutkan dalam al-Quran bahwa jiwa tidak akan beriman kecuali dengan izin Allah, artinya Allah telah memberikan izin ketika Dia melontarkan ajakan umum untuk beribadah kepada-Nya. Izin ini, kata al-Hasan, tidak lain daripada takhliyyah, akses bebas, atau ‘kebebasan’ untuk beriman. Allah telah membiarkan ‘kebebasan’ ini kepada manusia dan memberikannya kemampuan dengan menghembuskan kepadanya ruh-Nya sendiri dan memberi manusia potensi (qudrah).

Julian Obermann mengatakan bahwa "kata Arab untuk pembolehan, izin, adalah sinonim dengan takhliyyah. Dengan demikian, mengimplikasikan perbuatan memberikan akses, membiarkan sendiri, mencegah dari turut campur".24 Prof. Watt berpendapat, "Kata yang paling dekat dengan takhliyyah dalam bahasa Arab, secara etimologis, adalah ‘kebebasan’".25 Michael Schwarz sependapat dengan para sarjana di atas26 dan percaya bahwa takhliyyah adalah "kebebasan", dan ini menandakan bahwa "Allah telah melimpahkan kebebasan kepada manusia" seperti Al-Hasan katakan bahwa "Allah telah memberi manusia takhliyyah (kebebasan) dan qudrah, potensi untuk beriman. Ini berarti di hadapan manusia, tidak ada halangan, tidak ada intervensi, atau tidak ada pencegahan. Ini mengimplikasikan secara jelas bahwa seorang manusia "bebas" untuk beriman.

Mesti disebutkan bahwa Michael Schwarz menolak istilah "kehendak bebas" (free will) atau "kebebasan berkehendak" (freedom of will) sebagai pengertian dari istilah takhliyyah karena kedua istilah tersebut tidak ada dalam Islam dan al-Hasan tidak memaksudkannya. "Kehendak bebas" atau "kebebasan berkehendak" merupakan konsep Barat dan penggunaannya dalam menjelaskan teori al-Hasan dan pemikiran Muslim cenderung untuk mengaburkan argumen tersebut karena konsep tersebut asing bagi Islam. Para sarjana Muslim hampir tidak berpikir bahwa kehendak itu bebas ataukah tidak. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Hal itu akan dibahas bahwa "kehendak" dianggap oleh mereka sebagai salah satu perbuatan yang diciptakan oleh Allah maupun manusia.

Kecenderungan pemikiran pragmatis al-Hasan27 terbukti ketika dinilai bahwa ia menggunakan istilah ikhtiyar, "pilihan" dalam Risalah-nya dan berargumentasi (pada prinsip itu) bahwa perbuatan Allah selalu mengikuti kebebasan memilih manusia atas perbuatan baik atau buruknya28 dan tidak menetapkan bagi manusia perbuatan baik atau buruk tertentu. Allah hanya menciptakan kebaikan, sementara kejahatan berasal dari manusia atau manusia digoda oleh setan untuk melakukan kejahatan. Manusia memilih di antara dua pilihan dengan bebas. Allah mengetahui semua yang akan dipilih manusia selamanya. Hanya Dialah yang mengantarkan manusia kepada kesesatan (idhlal) jika manusia pertama-tama telah memberi peluang untuk hal ini melalui perbuatan dosa atau tindakan yang dilarang. Al-Hasan mendukung tesisnya dengan penafsiran al-Quran yang halus terhadap banyak ayat29 dengan penalaran logis. Di sini bisa dikatakan bahwa menjaga konsistensi dengan komentar J. Van Ess dalam hal ini bahwa doktrin "pilihan" adalah bukan bid’ah,30 namun tesis ini secara sistematis dirumuskan oleh al-Hasan untuk "pertama kalinya".31 Penegasan Julian Obermann32 mendukung pandangan ini. Bagaimanapun, kata-kata al-Hasan sendiri akan membenarkan ide tersebut:

"Dengan demikian, mereka sampai pada keyakinan bahwa Allah telah membebankan tugas (taklif) kepada hamba-hamba-Nya untuk melakukan apa yang mereka tidak mampu untuk melakukannya (akhadza mâ lâ yaqdirûn ‘ala tarkih). Namun Allah telah mencap dusta atas mereka dengan berfirman, Allah tidak membebani (yukallif) seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (wus’aha). Sebaliknya, Allah mengetahui bahwa kekufuran (kufr) akan menjadi ‘pilihan’ mereka, bi-ikhtiyâri-him karena mereka mengikuti nafsu mereka. Mereka membandingkan ini (ketidakmampuan mereka untuk beriman) dengan (fakta) bahwa Allah mengetahui sejak awal rupa dan warna mereka serta berapa tinggi ataupun pendek tubuh mereka kelak. Allah mengetahui bahwa mereka tidak akan bisa untuk melampaui ukuran-ukuran ini. Namun satu orang tidak sama dengan yang lainnya, karena tinggi, pendek, bentuk, dan warna merupakan perbuatan (fi’l) Allah atas mereka, karena untuk itu mereka tidak mempunyai ‘pilihan’, taqdim, ‘ikhtiyar’ sebelumnya dan bahwa mereka tidak mempunyai potensi (qudrah) untuk berubah. Namun Allah mengetahui sejak awal bahwa mereka akan ‘memilih’ (yakhtarunahu) kekafiran karena keinginan-keinginan mereka.33

Dalam bagian ini, al-Hasan menggunakan istilah ikhtiyar sebanyak tiga kali dan menekankan bahwa kekafiran atau beban yang tak dapat ditanggung, tidak dipaksakan kepada manusia oleh Allah. Karena motif jahat mereka, sebagian orang ‘memilih’ kekafiran dan menyandarkan kepada Allah akan hal itu. Namun adalah dusta bahwa Dia memaksakan kekafiran kepada mereka. Al-Hasan berargumentasi, Allah selalu mengetahui apa yang akan ‘dipilih’ orang-orang untuk melemahkan rencana buruk mereka. Secara jelas ini membuktikan bahwa manusia menikmati ‘kebebasan memilih’ untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan. Kami telah menunjukkan, Allah hanya menciptakan kebaikan, niat, perintah baik, dan petunjuk. Namun, sebaliknya, idhlal, kesesatan, atau ‘kekufuran’ sebagai akibat dari pilihan manusia. Di sini al-Hasan menolak ide mengenai ditetapkannya kekafiran manusia yang untuk itu ia tidak memiliki ‘pilihan’ sebelumnya sebagaimana tinggi, pendek, bentuk, dan warna. Al-Hasan juga menolak ide bahwa Allah menentukan keimanan. Namun yang benar, menurut al-Hasan, adalah kepercayaan atau ‘kekafiran’ bergantung kepada ‘pilihan’ manusia34 dan perbuatan Allah mengikuti pilihannya. Bahwa perbuatan Allah mengikuti pilihan manusia35 memecahkan begitu banyak masalah pelik dalam masalah ini dan membenarkan ayat-ayat yang mengarah ke pengertian predestinasi secara tidak logis.

Ide pilihan menjadi lebih jelas ketika bukti-bukti langsung disajikan di bawah ini. Namun ini jelas dari diskusi di atas bahwa ide "kebebasan" dan "pilihan" dibuktikan secara memadai dan didukung oleh ulama-ulama belakangan dan sarjana-sarjana modern abad sekarang.

Perbuatan Kebebasan Memilih

Sebagaimana telah disebutkan, yang paling mudah dari semua "bukti evidensial", al-Hasan temukan dalam al-Quran, dengan menerapkan metode contradictio in adjecto.36 Dalam metode ini, kami menemukan al-Hasan mengutip langsung ayat-ayat dari al-Quran untuk menentukan asumsi penting dalam al-Quran dan dalam pikiran Nabi bahwa perbuatan Ilahi selalu didahului oleh suatu tindakan pilihan manusia.37 Salah satu contoh terbaiknya disebutkan di sini. Al-Hasan mengatakan:

"Kaum jabariyyah menolak firman Allah, karena Allah, Yang Mahatinggi mengatakan, ‘Berimanlah, maka itu lebih baik bagi kalian’, namun orang-orang jahil mengatakan bahwa adalah mustahil bagi mereka untuk beriman. Dia juga berfirman, Taatilah Pemberi aturan, namun orang-orang jahil mengatakan bahwa Dia mencegah mereka dari ketaatan. Yang Mahatinggi berfirman, Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu, namun orang-orang jahil itu mengatakan, "Bagaimana bisa mereka berlomba dalam mencari ampunan ketika Dia memaksa mereka secara mutlak?" Dan Dia berfirman, Mengapa mereka tidak mau beriman? (QS al-Insyiqaq [84]:20), akan tetapi mereka mengatakan, Ini disebabkan Allah telah mencegah mereka dari beriman dan menyebabkan mereka untuk jatuh ke dalam kekafiran. Dia berfirman, Wahai Ahli Kitab! Mengapa kalian tidak percaya terhadap tanda-tanda Allah yang kalian sendiri menjadi saksinya? (QS Ali Imran [3]:63) Namun orang-orang jahil itu mengatakan bahwa hal itu disebabkan Allah telah menetapkan sebelumnya kekafiran mereka dan menjadikannya tidak bisa berubah."

"Jika kebenaran terletak pada orang-orang jabariyyah," kata al-Hasan, "Allah tidak akan mengatakan ‘Perbuatlah apa yang kamu kehendaki’ (QS al-Fushilat [41]:40). Ia akan mengatakan, ‘Lakukan apa yang telah Aku tetapkan’. Dan Ia tidak akan mengatakan, …maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir. (QS al-Kahfi [18]:29). Dia akan berkata, "Siapa yang akan mengimani-Ku, imanilah Aku, dan siapa yang mengingkari-Ku, ingkarilah Aku."38 Jelaslah dari contoh ini bahwa "iman" dan "kufur" yang merupakan tindakan-tindakan bernilai tergantung pada "pilihan" manusia. Apabila Dia telah merencanakan sesuatu yang lain, Dia bisa mengarahkan sebagian orang untuk beriman dan yang lain kafir. Namun Allah tak pernah melakukan demikian, tandas al-Hasan.39

Al-Hasan telah menekankan suatu kaidah yang berbeda dalam banyak bagian Risalah. Kaidah tersebut berbunyi: "tanpa kemampuan untuk memilih tindakan alternatif, maka tak ada tindakan moral." Teranglah, pilihan40 dilibatkan dalam kaidah ini. Lebih lanjut al-Hasan mengatakan:

"Maka, simaklah wahai Amir al-Mu’minin, firman Allah berikut, (Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang berkehendak akan maju (yataqaddam) atau mundur (yata’akhkhar)’ (QS al-Mudatsir [74]:37), lantaran ‘Allah telah memberi mereka qudrah yang bisa memajukan ataupun memundurkan mereka sehingga barangsiapa yang beramal saleh berhak atas surga dan siapapun yang beramal salah, maka neraka (al-nâr) bagiannya. Seandainya mereka mempertahankan pendapat palsu yang mereka miliki, mereka takkan mungkin (makana ‘alaihim) maju ataupun mundur. Ia yang bergerak maju tidak akan dipuji, demikian pula orang yang mundur tak bisa disalahkan atas apa yang dilakukannya. Sebab, menurut penegasan mereka, hal ini bukan berasal dari mereka dan bukan pada kekuasaan mereka (laysa…’alaihim), melainkan sesuatu yang dilakukan dengan mereka (umila-bihim). Dan Allah niscaya telah menyebutkan imbalan (jaza’) bagi mereka: "Suatu imbalan yang telah dilakukan dengan mereka" dan "suatu imbalan yang telah Aku tetapkan bagi mereka" dan Dia tak mungkin mengatakan, "sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (QS al-Sajdah [32]:17).41

Pada bagian ini al-Hasan mengemukakan, manusia cukup mampu untuk maju atau mundur jika ia mau dan mengingkari. Namun persoalan itu tidak pernah ditempatkan dengan sedemikian cara sebagaimana ia tidak pernah bisa beriman bila dia mau, lantaran ditakdirkan bagi setiap tujuan atau tidak untuk mengingkari dengan alasan sama. Al-Hasan tahu, agar bisa adil, pahala dan siksa mesti diraih dengan tindakan-tindakan atau pengabaian, yang pada gilirannya, pasti ada pada diri manusia. Gagasan pelecehan moral mengasumsikan kekuatan untuk bertindak adalah jelas42 di sini. Seluruh bagian ini mendorong pada suatu kesimpulan logis bahwa "pilihan bertindak" pada suatu alasan adil merupakan suatu keniscayaan.

Hal ini ditandaskan ketika al-Hasan berkata lagi:

Dan salah satu ayat yang disitir mereka adalah, (Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang berkehendak akan maju atau mundur (QS al-Mudatsir [74]:37) Dan firman-Nya, "Barangsiapa di antara kalian ingin berada di jalan yang lurus dan kalian tidak bisa menginginkan sesuatu pun selain yang Allah Tuhan Semesta alam inginkan". Allah telah mengatakan kebenaran dan Dia tidak menginginkan bagi kita selain kebaikan: maka tujuan-Nya hanyalah kebaikan sebelum kita hendak mengarah kepada kebaikan. Sebagaimana firman Allah, Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS al-Baqarah [2]:185).

Terkait dengan tugas keyakinan ihwal pilihan manusia, al-Hasan menekankan bahwa Allah hanya bertujuan untuk kebaikan, yang berarti keyakinan, ketaatan, dan mengikuti jalan yang benar. Dan tujuan-Nya untuk kebaikan mendahului niatan manusia untuk berbuat yang sama. Ini mengimplikasikan, Allah tak pernah memaksa manusia untuk kejahatan, atau pengingkaran, atau kekafiran. Pendeknya, Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk beriman atau tidak. Al-Hasan melanjutkan:

…Dan apabila Dia mau, bisa saja Dia memaksa manusia untuk menaati-Nya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya, Dia ingin menempatkan mereka pada ujian agar Dia bisa memberikan balasan kepada setiap orang karena segenap perbuatannya. Dan firman-Nya, Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. (QS Yunus [10]:99)."44

Seperti telah ditunjukkan, tindakan Allah senantiasa mengikuti pilihan dari tindakan manusia. Yang dimaksud tindakan oleh al-Hasan adalah keimanan, kekafiran, ketaatan atau kemaksiatan. Al-Hasan berdalil, bukti terbaik bagi tindakan "sukarela" manusia adalah "balasan tunai" atau "hukuman tunai" yang diberikan Allah atas perbuatan baik atau buruk yang "dipilih" oleh manusia. Selanjutnya, ia berkata:

"Siapapun di antara manusia mematuhi Allah dengan sesuatu yang diminta-Nya untuk taat, maka Allah membuka hatinya untuk Islam sebagai balasan bagi ketaatannya, yang memudahkan baginya untuk melakukan semua perbuatan baik, dan mempersulit dirinya untuk berlaku kufur, dosa, dan maksiat. Jika ini merupakan syarat dari orang ini, maka ia bisa melakukan sesuatu yang Allah perintahkan dan mencegahnya dari sesuatu yang dilarang-Nya. Dengan cara inilah, Allah memerintahkan seseorang mencapai tujuan ketaatan.

Dan barangsiapa yang melalaikan sesuatu yang diperintahkan Allah dan ia tetap bersikukuh dalam kekafiran dan perbuatan maksiat di dunia kendati ia bisa kembali ke jalan yang benar dan bertobat, maka Allah menyempitkan hatinya dan mengerucutkannya seakan-akan tegak ke langit sebagai suatu "hukuman tunai" di dunia karena kekafiran dan perbuatan jahatnya ketika penyesalan diperintahkan dan dibutuhkan. Dengan cara ini, Allah menyuruhnya mencapai puncak kekafiran dan perbuatan jahat."45

Al-Hasan mendasarkan ide pilihan bertindaknya, entah tindakan baik ataupun jahat, pada pragmatisme yang mengilhami akibat tindakan. Allah mengambil langkah untuk membalas atau menghukum hanya ketika manusia telah memilih dan mengikuti rangkaian tindakan tertentu di hadapan seruan dan peringatan yang berulang-ulang. Al-Hasan berpendapat, "Allah mengangkat takdir hanya ketika manusia telah memberikan peluang pertamanya untuk pemikirannya sendiri."

Al-Hasan memperkuat argumennya dengan mengatakan:

"Anda tahu, wahai Amir al-Mu’minin, Allah tak pernah membuat sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh para hamba-Nya. Namun Dia akan mengatakan, ‘Jika kalian melakukan ini, Aku akan menyertai kalian. Ketika kalian melakukannya Aku menyertai kalian dalam perbuatan itu.’ Sesungguhnya, Ia memberikan balasan atas segenap perbuatan manusia. Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk beribadah, berdoa, meminta pertolongan-Nya. Sekiranya mereka menginginkan sesuatu dari Allah, maka Allah akan menolong mereka. Begitu pula, bila mereka meminta tawfiq, maka Allah memberikan tawfiq yang memudahkan mereka untuk melakukan perbuatan baik dan menghindari dari dosa."46

Dengan demikian al-Hasan membuktikan, baik keimanan ataupun kekafiran tidak diciptakan untuk manusia yang tak dapat dihindarkan. Semuanya ini dibiarkan terbuka dan manusia bebas untuk memilih tindakannya itu. Akan tetapi, andaikan manusia memilih jalan yang benar sebagaimana ditunjukkan Allah dan meminta pertolongan-Nya47 untuk memudahkan mereka menunaikan objek keimanan, Allah melimpahkan tawfiq-Nya kepada orang itu.

Dari bahasan di atas, kiranya jelas bagi kita bahwa al-Hasan berusaha keras untuk membuktikan kepada semua pihak bahwa Allah selalu lebih suka manusia untuk ‘memilih’ (ikhtiyâra) kebaikan, yang berarti petunjuk yang benar, namun secara serentak ia menjelaskan bahwa manusia sangat mampu dan bebas untuk memilih kebalikannya. Hal ini melibatkan kebenaran bahwa tindakan keimanan atau kekafiran pada dasarnya memang dibebaskan bagi pemilihan tindakan.

Ramalan al-Hasan dan pengetahuan mendalamnya kembali dilacak dalam beberapa bagian Risalah sewaktu ia mencoba merumuskan ide "tanggung jawab" tindakan melalui melalui penerapan ide kebebasan memilih pada cara tindakan "nyata". Prinsip sentralnya adalah bahwa pilihan manusia mendahului perbuatan Allah, adalah berjalan dalam arti sebenarnya ketika manusia pertama-tama melangkah untuk "memperoleh" tindakan tersebut. Sebagaimana tersirat dalam ide al-Hasan, seluruh rangkaian kebebasan-pilihan—penampakan ataupun perolehan—hanya sempurna di saat tindakan tersebut dilakukan atau diperoleh. Kecerdasan pragmatis al-Hasan pada dasarnya bukti pemahamannya akan aspek subtil ini dari segenap rangkaian tindakan.

Untuk menyederhanakan masalah tersebut, bisa dikatakan bahwa al-Hasan tidak hanya merumuskan ide kebebasan memilih secara sistematis, namun juga berkaitan dengannya, ide dari konsekuensi aplikasi sebelumnya. Dalam benak al-Hasan, jelas kiranya bahwa suatu "pilihan" dari sebuah tindakan tidak menyebabkan manusia "bertanggung jawab" kecuali dan sampai ia (secara bebas) "mengaitkan dirinya sendiri untuk menjamin citranya" untuk sesuatu yang ia peroleh. Ini bisa meluas sampai kepada sesuatu yang disebut "suatu ide seseorang yang bertanggung jawab."48

Istilah-istilah dan bagian-bagian ini yang menjalankan tujuan ini tersedia dalam Risalah al-Hasan. Kini sejumlah kecil bagian bisa dikutip secara berurut yang memuat tujuan al-Hasan untuk menganalisis pelbagai akibat tindakan yang dicapai atau dilakukan oleh orang mukmin atau orang kafir. Ia menyatakan:

"Dan mereka menyelisihi firman Allah Yang Mahakuasa, Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS al-An’am [6]:125) Penantang itu, lantaran kebodohan mereka, menafsirkan ayat ini dengan "bahwa Allah membedakan seseorang karena Islam dengan membukakan hatinya tanpa perbuatan-perbuatan baik. Dan Dia membedakan seseorang dan mempersempit hatinya meskipun ia bukan seorang kafir dan pelaku kesalahan." 49

Penyangkalan al-Hasan terhadap klaim tentang Allah ini, tergantung pada inisiatif individu dan penunjukkan dalam beberapa tindakan. Ia menyebutkan: "Ketika Allah mengatakan, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya50 (Laha ma kasabat wa ‘alaiha maktasabat) (QS al-Baqarah [2]:286). Dan sesungguhnya Allah menciptakan jin dan manusia untuk menyembah-Nya dan Dia menciptakan bagi keduanya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat dan hati. Dengan semua ini, manusia bisa membebaskan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh Allah. Barangsiapa di antara mereka mematuhi Allah dengan sesuatu diperintahkan-Nya, maka Allah membukakan hatinya untuk Islam sebagai balasan langsung atas ketaatannya, memudahkannya untuk melakukan kebajikan-kebajikan…dan mempersulit baginya kekufuran, dosa, dan maksiat."51

Selain menyebutkan gambaran baik ini dari sesuatu yang diperoleh manusia melalui pilihannya sendiri, ia pun menyebutkan sisi buruk akibat melakukan perbuatan keji atau mengingkari perintah-perintah. Lanjutnya,

"Dan barangsiapa yang melalaikan perintah Allah yang ditujukan kepadanya dan ia tetap bertahan dalam kekufuran…Allah mempersempit hatinya dan menyesakkan dada seakan-akan sedang mendaki ke langit sebagai hukuman langsung, di dunia ini…52

Dari uraian doktrin al-Hasan di muka, boleh dikatakan bahwa al-Hasan adalah orang pertama yang berpendapat bahwa qadar adalah kekuatan Allah yang digunakannya untuk memberi petunjuk manusia pada arah yang benar, namun mengabaikan ‘petunjuk’ ini mengandung perintah dan larangan yang terbuka untuk dipilih dan merefleksikan penerimaan dan perolehan manusia dalam satu pola berupa keberhasilan mendapatkan pahala ataukah siksaan di hadapan Allah. Apa yang dijabarkan di sini ihwal pemikiran al-Hasan menyangkut qadar dan pilihan adalah semacam ide yang akan memiliki imbas pada wawasan pemikir Persia: Mulla Shadra. Kini, mari kita jelaskan pemikirannya secara ringkas.

Mulla Shadra

Shadr al-Din Syirazi atau Mulla Shadra adalah seorang ‘arif dan filosof yang aktivitas intelektualnya muncul di Persia selama masa Shafawi. Pemikiran Shadra mencapai puncaknya dan segenap kehidupan intelektual telah mengelilinginya selama tiga setengah abad yang lampau. Namun sayangnya, ia dan pemikirannya hampir tak dikenal oleh para cendekiawan di luar Persia. Bahkan, negeri-negeri Muslim lain pun kurang mengenalnya. Namun, syukurlah, baru-baru ini pemikirannya mulai digali dan ditelaah dalam berbagai cara. Shadra sebagaimana diketahui, memperoleh pengetahuan luasnya dalam ilmu-ilmu intelektual (al-‘ulûm al-‘aqliyyah), terutama dalam metafisika dan cabang-cabang hikmah lainnya (suatu gabungan dari ‘irfan, filsafat iluminasi dan filsafat peripatetik). Ia memelihara dirinya sendiri dalam memperoleh pengetahuan asketik yang nyata dan penyucian batin selama beberapa waktu. Karenanya, jelaslah ia menghimpunkan dalam dirinya sendiri—seperti halnya al-Hasan dan al-Ghazali—pengetahuan formal dan spiritual, sampai ke aras yang lebih tinggi. Mengingat kombinasi yang unik ini, ia bisa mengklaim dalam Risalah fi Al-Qadha wa al-Qadar-nya bahwa yang ia tulis dan utarakan bukan semata-mata berwatak intelektual namun digambarkan olehnya melalui iluminasi.54 Hasilnya, ungkapan dan perenungannya tentang qadha, qadar, dan ikhtiar didasarkan pada al-Quran suci. Secara sangat cermat, dia menyebutkan bahwa semua doktrinnya perihal tema tersebut bisa ditafsirkan dan dipahami dalam berbagai jalan. Bagaimanapun, kami telah mencoba, sejauh mungkin, menelusuri doktrin qadar dengan semangat nyata serta memilih dan mengembangkannya secara ringkas.

Selain Risalah fi Al-Qadha wa al-Qadar-nya Mulla Shadra, yang tengah didiskusikan ini, kita segera tahu ihwal dua buku serupa mengenai qadar dan ikhtiar yakni Risalah fi Al-Jabr wa al-Tafwidh dan Risalah fi Khalq al-‘Amal.56 Dalam semua buku tersebut, terutama Risalah fi Al-Qadha wa Al-Qadar-nya, Shadra menyatakan sikap aslinya terhadap kebebasan memilih dan bertindak. Namun, itu tersingkap melalui psikologinya bahwa secara menakjubkan ia waspada dalam menjaga kemahakuasaan Allah. Sepenuhnya dia mengetahui ihwal kontradiksi-kontradiksi yang mungkin terjadi di antara kemahakuasaan Allah dan kebebasan memilih dan bertindaknya manusia serta menjabarkan doktrinnya sedemikian rupa yang mendorong benak orang yang berpikir untuk bertanya tentang satu corak ambiguitas dalam teorinya. Ia sendiri mengajukan persoalan ihwal kedudukan tersebut dan menjawab persoalan ini dengan cara yang sedemikian brilian ketika ia menjelaskan kedudukannya. Sebagian sufi, para sahabat, dan sebagian filosof57 dihadapkan dengan kepelikan situasi sulit dan pelik semacam ini yang mengitari problem yang dipecahkan oleh pemikir Mulla Shadra yang melibatkan dirinya di dalamnya dan merumuskan doktrin yang luar biasa.58

Di balik latar belakang masalah ini, kita akan melihat sekarang, bagaimana Shadra menguraikan doktrinnya. Sebelum menganalisisnya, Shadra secara jelas mendedah makna batin dan signifikansi qadha dan qadhar.59 Dengan tindakan tersebut, ia menerangkan kedudukan qadha, qadhar, dan pilihan pada para pemikir dan filosof lain sebelumnya.60 Untuk memperkuat landasan doktrinnya, Shadra dalam Risalah-nya (pada bab ketiga) menyampaikan paparan terperinci menyangkut misteri penciptaan dari alam keindahan secara memikat yang luar biasa dalam pemikirannya sekaitan masalah ini.61 Persoalan keburukan yang selalu berkaitan dengan pilihan dan tindakan manusia ada pada semua filosof Muslim yang mencari solusi atas belitan masalah ini, tidak meluputkan perhatian apapun bagi pemikir Shadra.

Ia menjelaskan secara elaboratif tentang masalah syarr (keburukan) dan menjernihkan kepelikan di antara perbuatan buruk dan pilihan dengan qadha dan qadar Allah.62 Kemudian Mulla Shadra menghilangkan semua bentuk kepelikan dan ambiguitas mengenai qadar dan ikhtiar, dan mensistematisasikan ide-ide yang mengambang ke dalam suatu ide yang utuh dan pada akhirnya merumuskan doktrinnya sendiri yang ia terangkan terutama pada bab kelima dalam Risalah-nya.63

Dalam sejarah filosof Muslim, kita temukan bahwa kaum Qadariyyah menegaskan bahwa manusia telah dilimpahi qudrah (kekuasaan). Dengan itu, menurut mereka, manusia mampu melakukan tindakan berdasarkan pilihan mereka. Kaum Mu’tazilah, sebagai penganut paham Qadariyyah, mendukung kebebasan memilih dan bertindak manusia karena, menurut mereka, manusia mampu untuk itu. Kaum Asy’ariyah, di sisi lain, mengakui kemampuan perolehan tindakan yang mengimplikasikan pilihan dalam suatu cara. Para filosof Muslim lain mendukung pandangan yang menyatakan bahwa manusia menggunakan kebebasan dalam melakukan tindakan apapun.

Akan tetapi, Mulla Shadra menolak semua pandangan dan doktrin di atas dan menegaskan bahwa manusia dipaksa melakukan suatu tindakan di satu sisi dan bebas memilih dan bertindak di lain pihak.64 Ia sangat menekankan pada kemahakuasaan atau qudrah Allah. Inilah ranah-Nya yang tak seorang pun selain Dia memainkan peran yang utuh. Di sini, segala sesuatu berada di bawah kendali-Nya dan segala sesuatu yang terjadi di dunia senapas dengan titah-Nya. Ini artinya, manusia juga dipaksa (majbur) untuk bertindak. Namun, Mulla Shadra buru-buru menambahkan bahwa apabila kita beranggapan bahwa manusia telah dikaruniai dengan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan, kita mesti mengakui bahwa manusia menggunakan kebebasan bertindak.65

Dalam doktrin ini, dua sisi ini diisyaratkan secara jelas. Menyangkut sisi pertama, Shadra menyediakan dalil-dalilnya yang terperinci. Pertama, ia menyatakan bahwa yang terjadi di dunia, ditentukan (qaddara) sebelumnya. Kedua, ia mengatakan bahwa Allah tidak memiliki kendali penuh atas penciptaan segala sesuatu; atau sekiranya Ia memiliki kendali separuh saja, Ia bukanlah pencipta segala sesuatu atau perbuatan di dunia.66 Mulla Shadra memandang, sekiranya kita menganggap semua hal yang terjadi di dunia di bawah pengendalian-Nya atau segala sesuatu di bawah pengawasan-Nya, maka kita—dalam situasi ini—yakin untuk mengatakan bahwa manusia dipaksa alias tidak bebas. Untuk menunjang dalil ini, ia mengutip Fakhr al-Din al-Razi yang menegaskan bahwa andaikata kita percaya akan eksistensi Allah, kita terpaksa untuk mengakui bahwa kita memang dipaksa (majbur).

Razi berargumen, dalam suatu peristiwa yang berlangsung tanpa dikontrol oleh pengendali, peristiwa bisa terjadi, namun pengendali itu akan hilang. Tanpa kehendak pengendali, tidak satu pun peristiwa terjadi dan dengan demikian manusia dipaksa.67 Shadra kembali mengatakan, jika kemestian adanya nabi diakui, kemampuan manusia pun mesti diakui. Jika tidak, pengutusan nabi dan turunnya al-Quran adalah muspra dan sia-sia. Ketika situasi positif dan negatif ditampilkan di hadapan seseorang, adalah bijaksana, menurutnya, dua situasi tersebut semestinya diberi signifikansinya yang setara. Namun ketika satu situasi lebih disukai ketimbang yang lain berdasarkan landasan komparatif, maka situasi menjadi berbeda dan berubah. Situasi semacam itu melukiskan kepada kita jabr (pemaksaan) dan isti’bar.68

Shadra, dengan menjaga konsistensi dengan argumen di atas, kembali mengatakan bahwa—selain adanya perbedaan tipis—tidak ada jalan keluar selain majbur (terpaksa) ketika dianggap bahwa tak satu pun mempunyai andil atau campur tangan dalam tindak penciptaan. Lagi-lagi, ketika Allah dipandang sebagai di atas segala sesuatu yang mengimplikasikan kejahatan atau kelemahan, sebagian bentuk kebebasan manusia diakui. Di sini, Mulla Shadra mengalihkan tinjauannya selintas pada arah yang berbeda. Ia menambahkan, seorang manusia bisa atau tidak bertindak sesuai pilihannya. Namun pilihannya atas sebuah tindakan atau melakukan sebaliknya, tergantung kepada Allah lantaran pilihannya tidak tergantung pada dirinya sendiri. Pilihan ini sepenuhnya diawasi oleh Allah. Akibatnya, dari sisi tindak memilih, manusia itu terpaksa. Shadra menjelaskan posisi ini dengan bantuan masyiah dan qudrah. Ia mengatakan, masyiah atau pilihan menggiring qudrah atau potensi manusia untuk meraih sesuatu yang didambakan. Qudrah ini menciptakan reaksi pada manusia atau menggetarkannya yang memudahkannya untuk melakukan tindakan.69 Ketika getaran semacam itu terjadi, seorang manusia tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat ia tidak bisa melakukan demikian, ia majbur atau terpaksa untuk berbuat. Mesti dicatat di sini, dalil Shadra mengenai paksaan mengisyaratkan ide yang menarik bahwa manusia punya pilihan meskipun dikendalikan.

Guna mendukung tesis ini, Mulla Shadra juga menyebutkan bahwa manusia bebas atau mukhtâr dan mampu yang berkaitan dengan melakukan suatu tindakan. Namun ia dipaksa atau mustar sejalan dengan masyiah. Menurut Shadra, apabila masyiah berada dalam kontrol manusia, maka ia niscaya membutuhkan masyiah lain. Dan, sebagai suatu sebab dari masyiah ini, ia merasakan kemestian masyiah lain.70 Fana’kulu jumlatu masyiatihi al-ghayr al-mutanahiyah. Akan tetapi, hal ini tidak bisa berlanjut tanpa batas. Ini juga membuktikan, bukan manusia melainkan Allah yang memiliki masyiah sepenuhnya. Artinya, manusia sendiri tidak bisa berkehendak atau membuat pilihan sampai Allah berkehendak baginya. Tak pelak lagi, di sinilah letak keterpaksaan manusia atau majbur. Namun kecondongan di sini adalah ada hal-hal tertentu di mana manusia yakin untuk memilih. Ia menunjukkan sisi alamiah dari sosok manusia.

Mulla Shadra menyadari kedudukannya di sini. Ia mengungkapkan, apa yang ditegaskannya di atas kelihatannya bertentangan. Akan tetapi sebetulnya tidak demikian. Asal saja, seorang individu memahami bahwa manusia itu majbur atau terpaksa dalam perspektif ikhtiar. Untuk itu, ia disebut majbûr ‘alâ al-ikhtiyâr yakni terpaksa di atas pilihan.71 Fa ijan majbûrûn ‘alâ al-ikhtiyâr. Berdasarkan dalil ini, ia beroleh cahaya dari sisi lain doktrinnya yang menjabarkan bagaimana ikhtiyar atau iradah dan qudrah bekerja pada manusia agar ia bisa memilih tindakannya secara merdeka.

Mengenai qudrah, Mulla Shadra menyebutkan, manakala manusia mencermati alam materi dan pelbagai aktivitas manusia yang harus bekerja dalam lingkungan tertentu, kita memperoleh gambaran bahwa manusia mempunyai kemampuan dengan bantuan yang darinya ia bisa bekerja secara bebas. Secara empatik, Shadra mengungkapkan bahwa qudrah merupakan suatu energi spiritual yang beroperasi pada dua sisi.72 Potensi atau kekuatan ini menemukan wahananya ketika seorang manusia melakukan perbuatan berdasar motif batin dan faedahnya. Akan tetapi, qudrah atau potensi tersebut bersifat tanpurna (incomplete) pada diri manusia. Di sisi lain, ia sempurna pada diri Allah dan khas dalam wataknya. Qudrah Allah adalah Allah sendiri yang menciptakan segala sesuatu di baliknya karena Dia mengetahui segala sesuatu sebelumnya. Qudrah ini berjalin-berkelindan dengan pengetahuan dan kehendak-Nya. Untuk alasan itu, tak satu pun yang bisa dilekatkan kepada-Nya seperti motif yang berubah, sebab yang berubah, kehendak atau syarat yang berubah.72

Mulla Shadra membantah doktrin Asy’ariyah ihwal kemampuan manusia. Ia mengatakan, seorang manusia yang mampu (qadr) adalah ia yang bisa bertindak dan melakukan tindakan di saat ia cenderung dan tidak berbuat ketika tidak bermaksud melakukannya.73 Apabila berkehendak, ia bisa berbuat secara terus menerus dan bisa menghentikannya andaikan dia tak berniat. Shadra mengutarakan, kedua sisi―melakukan tindakan atau sebaliknya―tidak salah baginya. Sebaliknya, dua sisi kecakapan ini mengimplikasikan pilihan yang bisa dilekatkan kepadanya.

Sebagaimana telah ditunjukkan, kapabelitas (capability), menurutnya, terkait erat dengan qudrah atau pilihan. Ketika, lanjutnya, kita membayangkan tentang sesuatu untuk dilakukan, maka imajinasi kita diserang tiga tahapan.

Tahap-tahap tersebut adalah: (i) junni atau ide yang berubah; (ii) takhyili atau menciptakan ide; dan (iii) ‘ilm atau pengetahuan (tassaburran jannian aw takhyilian aw ‘ilmiyan). Setelah tiga tahapan ini, syaukun mutawakkid atau kekuatan ambisi yang memudahkan kita untuk bertindak diciptakan dalam diri kita. Daya atau ambisi potensial ini adalah sesuatu yang disebut iradah. Imajinasi kita perihal sesuatu, bisa yang dipilih ataupun yang tak diingini. Namun, baik yang bisa dipilih ataupun yang tak diingini tergantung pada waham, ‘aql atau ide, dan kesadaran kita. Situasi khusus ini dalam pikiran menciptakan suatu ambisi atau maksud yang memudahkan kita entah untuk menerima sesuatu ataukah menolaknya. Corak kemudahan (syauk) ini dikenal sebagai al-‘azm al-jadzim yang di sini dinamakan iradah. Tak ragu lagi ini merupakan pilihan potensial (iradah) (al-‘azm al-jadzim al-musamma bi al-iradah). Shadra mengungkapkan, ketika pilihan atau iradah ini dipadukan dengan qudrah atau potensi, potensi ini menciptakan getaran dalam organ-organ manusia sebagai hasil dari perbuatan yang dilakukannya.75 Di sini, Shadra tidak lalai untuk menyebutkan bahwa iradah atau kehendak Allah sangat berbeda, dalam arti bahwa Dia mengetahui segala sesuatu yang oleh karenanya tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini di luar pengetahuan-Nya.

Sebagai perluasan dari perkataannya di atas, Mulla Shadra sendiri mengajukan suatu persoalan: apakah setiap tindakan atau peristiwa yang belum terjadi, berada di lauh al-mahfuzh? Dia sendiri menjawab seketika ketika ia menambah ke atasnya bahwa segala sesuatu sudah tertulis sebelumnya. Namun semua kejadian ini tergantung pada syarat-syarat dan keadaan-keadaan tertentu yang tentangnya manusia mesti punya pengetahuan, pemahaman, dan kesadarannya.76 Dia menyatakan, wa tafakkuruhu allajani yakhtaru bi-hima ahada tarafayil fail wa al-tarkib. Secara empatik, ia mengungkapkan, apa yang paling penting adalah bahwa seorang manusia harus berpikir terlebih dulu ketika bermaksud melakukan sebuah perbuatan dan menggagas tentang tindakan yang akan diambilnya itu. Yakni, tindakan apa yang akan dipilihnya dan tindakan pilihan tersebut dilakukan sesuai dengan niatnya.

Sesuatu yang paling penting di sini adalah pilihan manusia atau ikhtiyar. Tindakan ini, lanjutnya, mungkin juga wajib dilakukan. Shadra berdalil untuk argumentasinya bahwa segala sesuatu yang ditentukan menemukan eksistensi atau ekspresi mereka di dunia tergantung pada hal-hal lainnya. Peristiwa dari segala hal yang ditentukan ini tidak dapat dipercayakan pada atau dimasukkan ke dalam qudrat ajaliah dan qadha Ilahi (fala yashduru min al-qudrah al-ajaliah wa al-qadha al-ilahi iradatun hadisyatun illa ba’da ‘ilm). Shadra menjelaskan, segala sesuatu yang ditetapkan ini tampaknya termasuk dalam irâdatun hadisyah (kehendak aksidental)77 yang dihasilkan dalam benak manusia berdasarkan pengetahuan akan sesuatu. Jenis sesuatu ini tidak bisa diketahui kecuali ia punya kehidupannya yang lagi-lagi tak dapat dilacak apabila tidak ditempatkan dalam satu posisi. Yakni, kita memikirkan tubuh demi kehidupan.

Maka, di balik segala sesuatu yang kita jumpai, lanjut Shadra, ada beberapa bentuk pemikiran dan motif. Namun ini semua berada di luar pemahaman kaum Qadariyyah dan Mu’tazilah lantaran mereka mempertimbangkan segala sesuatu melalui akal dan disetarakan dengan dajjal yang melihat segala sesuatu hanya dengan mata kanan.78 Dia pun menyebutkan kaum Jabariyah yang memandang semua hal hanya dengan mata kiri dan menilai segala sesuatu secara sekilas alih-alih menelaah persoalan tersebut secara mendasar. Selain itu, Mulla Shadra menolak doktrin Asy’ariyah perihal kemampuan dan tampilan tindakan.

Dalam Risalah-nya, Mulla Shadra menjabarkan kedudukannya dalam membahas peristiwa mengenai pilihan. Ia mengatakan, suatu saat Fadhl Ibn Sahal bertanya kepada Imam Ali Ibn Musa al-Ridha di hadapan khalifah al-Makmun, apakah alam ciptaan ini bersifat majbur (terpaksa)? Dalam menjawab ini, Imam al-Ridha mengatakan, adalah tidak layak di sisi Allah yang Mahaadil bahwa Ia akan memaksa manusia untuk berbuat dan selanjutnya Ia akan menghukum mereka karena perbuatan tersebut. Dalam hal ini, jelas-jelas Allah sangat keliru. Fadhl Ibn Sahal bertanya lagi apakah Allah akan membiarkan manusia tanpa ketentuan? Beliau kembali menjawab bahwa dalam keadaan ini pun Allah salah.79 Mulla mengatakan, makna batin dari kisah di atas adalah bahwa Allah tidak pernah sekali pun memaksa manusia untuk berbuat sesuatu atau Dia tidak menentukannya. Ditunjukkan pula bahwasanya Allah tidak menetapkan keimanan bagi sebagian orang dan kekufuran bagi sebagian yang lain. Seandainya Dia berbuat demikian, tentunya takkan pernah Dia mengutus para nabi untuk mengingatkan manusia tentang keimanan, kekufuran, menghukum perbuatan buruk dan memberi pahala atas perbuatan baik manusia. Sebaliknya, sudah pasti pahala dan siksa diperoleh manusia karena perbuatan baik dan aktivitas buruk mereka lantaran Allah tidak pernah menciptakan sebagian pihak untuk perbuatan baik dan sebagian pihak untuk perbuatan jahat.

Paparan di atas meninggalkan bidang yang luas bagi manusia untuk memilih apapun yang ia suka ataupun yang tidak. Senapas dengan dalil ini, Mulla Shadra mengatakan, tindakan apapun yang kita ambil di dunia ini tertulis sejak azali sebelum kelahiran kita. Namun tindakan tersebut akan dilakukan dan bentuk pemeliharaan apapun yang akan terjadi hanya sesuai dengan iradah dan ikhtiyar.80 Untuk mengutip dalil ini, beliau mengutip dari al-Quran suci: wa kullu sayy-in fa’alûhu fi al-dzubur, wa kullu shagîrin wa kabîrin mustathar. (QS al-Qamar [54]:52-53). Artinya, Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.

Dalam mengakhiri teorinya, Mulla Shadra menekankan bahwa tidak ada keraguan di dalam teori itu bahwa manusia telah dilimpahi dengan kemampuan (quwwah) dan pilihan (ikhtiyar) yang oleh karenanya ia pilih untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu yang ia suka dan menghindari dari perbuatan yang tidak disukainya. Namun lantaran wujud mereka tanpurna (incomplete), ikhtiyar dan quwwah ini sangat bergantung pada Allah. Mulla menyebutnya ikhtiyâra istaklaliah?81 Mulla berkata, "Fanakula larayba lil-insan iradatun wa quwwa biha yatimmu laha husul al-mulayim wa istinab al-manafi illa anna lilka al-iradah wa al-quwwah mustanadatun illa Allah fa annahu la ikhtiyâra istaklalia.

Di hadapan kita sekarang, ada dua doktrin tentang qadar dan ikhtiyâr yang bersumber dari dua pemikir. Bidang yang cukup ditinggalkan untuk menemukan kesamaan dan perbedaan ide-ide mereka. Cara penyampaian mereka juga memikat. Kini, masalah kita adalah mencari titik temu dan titik beda di antara mereka berdua.

Seperti disebutkan di muka, al-Hasan al-Bashri ra harus merumuskan doktrin ikhtiar dan qadar-nya saat diminta oleh Khalifah ‘Abd al-Malik dan yang lainnya yang disesatkan dengan pengertian yang berlawanan dan merusak atas qadar sebagai takdir. Al-Hasan ra harus melakukannya di suatu masa Islam yang belum kehilangan gairah terhadap agama yang dikhotbahkan sekarang ini. Kita melihat dalam Risâlah-nya, ia mengkritik habis orang-orang yang memilih untuk mendakwahkan takdir sebagai makna dari qadar dengan bantuan ayat-ayat al-Quran yang darinya mereka mencoba untuk menyingkap fatalisme. Dalam Risalah-nya, al-Hasan hanya menggunakan dua belas ayat dari sembilan puluh dua ayat untuk meneguhkan konsep ikhtiyar dan sisanya (80 ayat) untuk menolak makna qadar yang berlawanan.

Noktah yang paling menarik adalah bahwa ayat-ayat ketentuan (predestinasi) yang digunakan mereka, ditafsirkan sedemikian menakjubkan oleh al-Hasan ketika ayat-ayat ini tidak menunjukkan fatalisme namun ikhtiyar (pilihan) atau tafsiran ayat-ayat tadi di tangannya menghilangkan kegelapan dengan cara meneguhkan landasan pilihan manusia.

Hampir sembilan setengah tahun setelah eksposisi al-Hasan, Mulla Shadra menyampaikan doktrinnya tentang problem tersebut yang ditanyakan oleh kaum ‘urafa dan para filosof. Kondisi ini disebabkan berkembangnya berbagai jenis teori dan doktrin sebagai akibat tersebarnya ide-ide yang pelik dan keliru di seantero Dunia Islam. Seperti al-Hasan, Shadra mengambil berbagai ayat al-Quran suci dan hadis sebagai landasan ajarannya.

Shadra mendiskusikan masalah tersebut secara panjang lebar untuk menolak Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan berbagai pandangan para filosof yang berkembang hingga upayanya. Argumen-argumen ini pasti luar biasa dalam karakter dan rumusannya. Titik pusat diskusi dalam ajaran al-Hasan dan Shadra adalah qadar, qudrah, dan ikhtiyar.83 Kedua pemikir ini sangat jeli terhadap problem yang mungkin terjadi berkenaan dengan kemahakuasaan Allah dan ikhtiyar manusia. Pula, al-Hasan dan Shadra mendukung dan membuktikan bahwa qadar sebagai takaran segala sesuatu yang universal dari alam semesta hanyalah qadar Allah. Inilah kemahakuasaan Allah dan di sini tidak ada celah untuk menurunkannya ke aras takdir. Malah, keduanya menandaskan, manusia telah dikaruniai qudrah atau kemampuan melakukan tindakan apapun. Apabila manusia tidak mampu melakukan tindakan, maka pengutusan rasul untuk mengingatkan manusia agar menaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah akan sia-sia dan muspra. Keduanya pun setuju bahwa Allah mustahil menentukan seorang manusia menjadi kafir secara diam-diam dan memerintahkannya untuk taat secara terbuka.84 Sebaliknya, mereka membuktikan bahwa seorang manusia juga dibentuk oleh Allah sehingga ia bisa berniat berbuat satu kebajikan atau sebaliknya berbuat kejahatan. Shadra mengatakan, Allah telah menciptakan manusia untuk keimanan yang diketahui sebagai kebaikan (al-khayr). Namun Dia tidak menciptakan manusia untuk kekafiran yang dipilih manusia, lanjut Shadra, lantaran tabiat dan kelemahannya. Al-Hasan mengatakan, sebagian manusia—karena penyakit hati dan jiwa mereka—tidak taat dan beribadah kepada Allah dan melakukan kejahatan-kejahatan dengan menjadikan qadar sebagai tudung dalam busana takdir dan menyatakan ketakmampuan untuk menaati Allah.

Menurut al-Hasan dan Mulla Shadra, inilah pembagian yang terletak pada bagian orang-orang kafir. Al-Hasan menunjukkan, Allah memberikan kekuatan bagi siapa saja yang menggunakan kemampuan tersebut di jalan-Nya (qudrah li man wa ja’ala laha qudratun ‘alaihi). Ia tidak menyebutkan bahwa qudrah dalam diri manusia bersifat temporer atau permanen. Namun Mulla Shadra menyatakan bahwa qudrah dalam diri manusia bersifat tanpurna, sementara pada Allah bersifat sempurna. Mengenai qudrah mutlak, pandangan al-Hasan juga sangat jelas ketika ia mengatakan bahwa Allah Mahakuasa dan Mahaperkasa. Kata al-Hasan, "Tanpa kemampuan untuk memilih tindakan alternatif, sebetulnya tidak akan ada penyimpangan moral." Ini artinya, tanpa kemampuan melakukan tindakan, seorang manusia tidak bisa memikul tanggung jawab dan ini didukung oleh para pemikir setelahnya. Di sisi lain, Mulla Shadra menyetujui perkataan al-Hasan mengenai kecakapan atau qudrah dan tanggung jawab tindakan.

Menyangkut persoalan pilihan atau ikhtiyar, sudut pandang al-Hasan pun amat jelas. Dalam Risalah-nya, ia telah memilih kata-kata yang paling membantu yakni takhliyah, ikhtiyar, dan idzn. Signifikansi tiga kata ini yang dirangkum bersama memunculkan doktrin pilihan. Secara tegas, al-Hasan menandaskan doktrin ini dalam risalahnya, namun ia tidak pernah mengikuti siapapun dalam hal ini. Kita segera tahu bahwa ia telah mendapatkan pandangan-pandangannya yang aslinya dari Al-Hasan Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib.86

Jika kita mencoba menemukan landasan doktrinnya, kita akan menyaksikan bahwa dalam risalahnya ia acap menukil ayat-ayat al-Quran suci dan tidak mengacu kepada pandangan-pandangan lain yang tentu saja tidak berkembang hingga zamannya. Dalam risalahnya, al-Hasan sungguh-sungguh mencoba mendukung semangat Al-Quran suci dan membuktikan bahwa Allah selalu lebih suka manusia yang memilih kebaikan, memaknai petunjuk yang benar. Namun secara serentak ia menjelaskannya dan menjabarkannya bahwa manusia sangat mampu dan bebas memilih hal sebaliknya jika ia mau. Ini membenarkan bahwasanya perbuatan keimanan dan kekafiran merupakan pilihan terbuka untuk diambil.87

Akan tetapi, dalam rumusan dan sistematisasi Mulla Shadra perihal doktrin ikhtiar (the doctrine of choice), kita menjumpai suatu gambaran berbeda meski dalam kesimpulan kedua tokoh ini mendukung semangat al-Quran. Dalam penjelasannya, Shadra banyak menggunakan kata-kata yang rumit dan juga melontarkan doktrin tersebut dengan cara yang sangat kompleks. Satu alasan atas hal ini boleh jadi merupakan perkembangan pemikiran tentang berada dalam tahapan pertama ketika zaman al-Hasan. Akan tetapi, Mulla Shadra mengatakan bahwa manusia di bawah kondisi-kondisi dan lingkungan-lingkungan tertentu adalah majbur atau terpaksa untuk melakukan perbuatan; namun di saat yang sama ia bebas. Dia mengatakan, pilihan yang seorang manusia lakukan dalam mengerjakan suatu perbuatan tergantung pada Allah yang juga mengendalikan pilihan ini. Dia mengatakan, manusia adalah mukhtâr atau mampu, namun ia mustar sejalan dengan masyiah yang hanya dilakukan oleh Allah. Shadra juga menandaskan, manusia itu majbur—pada bab Ikhtiyar Majbur alal Ikhtiyar—yakni ia terpaksa untuk memilih. Dalam tugas memilih sebuah perbuatan, menurutnya, pertama-tama manusia mengembangkan imajinasi yang memiliki tiga tahapan. Setelah melewati tahapan-tahapan tersebut, ide sebuah perbuatan kian matang dan orang tersebut merasa memulai mengambil langkah guna melakukan perbuatan tersebut. Dia menyebut tahapan ini sebagai syaukun mutawakkid yang diistilahkan olehnya sebagai iradah atau kehendak. Kehendak ini merupakan unsur utama pada diri manusia dan mengembangkan ide iradatun hadisyah atau kehendak aksidental yang dihasilkan dalam minda (mind) seorang manusia berdasarkan pengetahuannya tentang tindakan tersebut. Lebih jauh, ia mengembangkan teori pilihannya dan menyebutnya istiklaliah88 dan menghilangkan semua kesamaran dan kepelikannya, mengembangkan gagasan bahwa manusia tidak bebas dari hukuman, namun bebas memilih perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Mulla Shadra seperti al-Ghazali mempunyai pijakan psikologis dalam doktrin pilihannya. Secara menakjubkan ini memang benar bahwa al-Ghazali, dalam doktrin pilihannya yang menawannya ini, mengikuti Hasan al-Bashri ra. Bagaimanapun harus diakui bahwa ada sejumlah kontradiksi dalam pemikiran Shadra. Namun yang tampak hanya karena Shadra mengakuinya sendiri dalam Risalah-nya dan menghilangkannya dalam pembahasan kemudian.89

Kini kita sampai pada kesimpulan bahwa baik al-Hasan maupun Mulla Shadra sama-sama mendukung doktrin pilihan al-Quran (ikhtiar) sekalipun cara pengungkapan dan penggunaan istilah-istilahnya berbeda. Al-Hasan mengatakan, perbuatan Allah mengikuti perbuatan manusia. Sekiranya seorang manusia memilih keimanan, Allah memberi taufik baginya dan memperluas hatinya dalam dukungan terakhirnya. Ini berarti memilih sebuah perbuatan adalah milik manusia, namun aktivasi adalah oleh Allah yang melakukan sejumlah kontrolnya pada ikhtiar yang tidak dikekang. Argumen cermat Mulla Shadra adalah bahwa ikhtiar tersebut dikendalikan oleh Allah, manusia tidak dihentikan memilih sebuah perbuatan. Sehingga, dalam suatu pengertian, titik pandang Mulla Shadra membenarkan titik pandang al-Hasan.90[]

Catatan Kaki:

1. Ibn Khalliqan, Wafâyat al-A'yân, ed. S. Moinul Haq, Pakistan Historical Society, Karachi, 1976, vol. II, h.166. Cf. W.M.Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Edinburgh, 1973, h.77.

2. M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, 1966, vol-II. p.933.

3. Helmut Ritter, "Studien Zur Geschichte Der Islamichen Frommiggkeit-I, Hasan, al-Basri", Der Islam, vol.21 1933, h.30. Cf. Julian Obermann, "Political Theology in Early Islam". JAOS, serial off print, No. 6 1935, h.138-162.

4. Mulla Shadra, Risalah fi al-Qadha wa al-Qadar, Bab I, h.165.

5. Md. Bodiur Rahman, Hazrat Imam Hasan al-Basri, Baitusy-Syaraf Research Center, Chittagong, Bangladesh. 1991; kajian detail ihwal hayat al-Hasan disediakan di sini.

6. W.M.Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Edinburgh, 1973, h.95.

7. Al-Hasan al-Basri (r), Risalah, ed. H. Ritter, op. cit, h.67-88.

8. Ali bin Sultan Muhammad al-Qarry, Mir'at al-Mafâtih, Syarh Misykat al-Mashabih, Malktu, bat Imdadia, Makubat, Pakistan, 1386, vol.I, h.59.

9. H. Ritter, op.cit, h.20; cf. J. Obermann, op.cit., h.138-162. Untungnya, surat dari Abd al-Malik disunting dan dilampirkan bersama Risalah-nya al-Hasan.

10. Julian Obermann, op.cit, h.155.

11. Md. Bodiur Rahman, ‘Al-Hasan al-Basri’s conception of the Freedom of choice’, tesis Ph.D tidak dipublikasikan, 1990, h.89-97.

12. J. Obermann, op.cit., h.151.

13. Al-Hasan al-Basri (r), Risalah, ed. H. Ritter, Der Islam, vol.21, h.67-88.

15. Ibid., h.72.

16. Ibid., h.69: 1, 19-21.

17. Al-Hasan, Risalah, h.79.

18. Al-Hasan, Risalah, h.81: 1, 12 - 82:1.1.

19. Ibid., h. 82: 1.1.

20. Dalam diskusi abad-abad belakangan, istilah ini menempati kedudukan utama dan telah diperdebatkan selama berabad-abad.

21. Al-Hasan, Risalah, p.73:1, 8-10.

22. Al-Qur’an, 2:38, 2:108, 4:3, 4:85, 6:70, 7:30, 10:108, 13:29, 28:29, 25:62 dan banyak lainnya.

23. Ibid., h.73: 1, 1.12.

24. J. Obermann, op.cit., h.152.

25. W.M. Watt, "Free will and Predestination in Early Islam", London. 1948, h.117.

26. M.Schwarz, "The Letter of Hasan al-Basri", Oricens, vol. 20, 1967, h. 29.

27. J. Obermann, op.cit., h.149.

28. W.M.Watt, Formative Period of Islamic Thought, London, 1973, h.102.

29. J.Van Ess, "Kadariyya", Encyclopedia of Islam, vol.IV.h.269.

30. Al-Hasan, Risalah, h.68.

31. J. Van Ess. "Das Kitab Al-Irga, Des Hasan B. Muhammad B. Al-Hanafiya", Arabica, vol. 21, 1974, h.369.

32. J. Obermann, op.cit., h.153.

33. Al-Hasan, Risala, p.77.2.

34. M.A.Rouf, "The Qur’an and free will", The Muslim World, 1970, No.4, Part-II, h.295- 296

35. Watt, Formative Period of Islamic Thought, Edinburgh, 1973, h.102.

36. J. Obermann, op.cit., h.151.

37. W. Thomson, op.cit., h.289.

38. Al-Hasan, Risalah, h.82, i.ff, 130 (a). Ibid, h.69, 17-19, 1.4.

39. Ibid., h.70. 1. 5-6.

40. M. Schwarz, Oriens, h. 28

41. Al-Hasan, Risalah, h.70. 1. 8-15.

42. M. Schwarz, Oriens, h.28.

43. Al-Hasan, Risalah, h.73. 1. 1. 15-18.

44. Ibid., h. 76. 2. 6-9.

45. Al-Hasan, Risalah, h. 79. 1. 19-80. 1.6,

46. Al-Hasan, Risalah, h. 81. 1.

47. Konsep tawfiq mengingatkan kita akan pengaruh doktrin al-Hasan pada doktrin kemurahan Kristen.

48. J. Schact, "New Sources for the History of Mohammedan Theology", Studia Islamica, vol.1, 1953, h.30.

49. Al-Hasan, Risalah, h. 79. 1. 10-15.

50. Ini merupakan ayat penting yang telah ditafsirkan oleh para ulama dengan berbagai cara. Versi Arab: La yukallifullahu nafsan illa wus’aha laha ma kasabat wa 'alaiha maktasabat.

51. Al-Hasan, Risalah, h. 79. 1. 19-80. 1.6.

52. Ibid., h. 81.

53. J. Obermann, op.cit., h. 151. Untuk paparan terperinci doktrin pilihan al-Hasan, lihat Md. Bodiur Rahman, op.cit., h. 67-126.

54. M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, Wiesbaden, 1966, h.934.

55. Mulla Shadra, Risalah fî al-Qadha wa al-Qadar.

56. M.M. Syarif, op.cit., h.934-935.

57. Mulla Shadra, op.cit., h.157.

58. Doktrinnya tampak alami ketika dijelaskan dan disimpulkan olehnya yang mengarah pada suatu posisi pengecualian.

59. Mulla Shadra, op.cit., h.149-158.

60. Ibid., h.150-151.

61. Ibid., h.159-170.

62. Ibid., h.172-191; lihat bab dimana pandangannya menyangkut hubungan sarr dengan nasib dan qadar dijelaskan.

63. Ibid., h.194-204. Teori utamanya dijelaskan dalam halaman-halaman ini.

64. Ibid., h.194.

65. Ibid., h.195.

66. Ibid., h.197.

67. Ibid., h.198.

68. Ibid., h.198-199.

69. Ibid., h.200.

70. Ibid., h.200.

71. Ibid., h.200, penggunaan majbur 'ala al-ikhtiyar semacam itu menunjukkan penggunaan dari Sartre yang bermakna "dikutuk menjadi bebas."

72. Ibid., h.197.

72. (a) Ibid., h.197-198.

73. Ibid., h. 198, (baris 6).

74. Ibid., h.198.

75. Ibid., h.198.

76. Ibid., h.199.

77. Ibid., h.200.

78. Ibid., h.201-202.

79. Ibid., h.203.

80. Ibid., h.202.

81. Ibid., h.205. Ikhtiyarah Istiklaliah merupakan suatu yang menarik. Ini kemungkinan frase Shadra sendiri yang unik dari sisi karakter.

82. Dalam Risalah al-Hasan dan Shadra, argumen-argumen ini tersedia secara bebas. Kami menemukan logika yang bermakna dalam argumen-argumen mereka.

83. Tiga kata ini menempati ruang yang luas dalam Risalah al-Hasan dan Mulla Shadra yang menyediakan secara khusus lima bab guna menjelaskan kata-kata ini.

84. Md. Bodiur Rahman, Al-Hasan’s al-Basri’s Conception of the Freedom of Choice, tesis tidak diterbitkan untuk gelar Ph.D. Degree, Bangladesh, 1990, h.104-116.

85. Al-Hasan al-Basri, Risalah, h.75-86. Untuk penjelasan terperinci, lihat tesis penulis.

86. Ali bin Sultan Muhammad al-Qarry, op.cit., h.59.

87. Md. Bodiur Rahman, op.cit., h.116.

88. Mulla Sadra, op.cit., h.205-206.

89. Ibid., h.197-198.

90. Suatu kajian utuh dari Risalah al-Hasan dan Shadra menunjukkannya secara pasti.

Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dari "Imam Hasan al-Basri (r) and Mulla Sadra-A Comparative Study of Their Concepts of the Freedom of Choice" pada The Second International Conference on Mulla Sadra on 5-6 May 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar